1. Apa Itu Bullying dan Cyberbullying
Bullying adalah
tindakan menyakiti orang lain — bisa lewat fisik, verbal, sosial, atau
psikologis — secara berulang dan sengaja untuk menunjukkan
kekuasaan atau merendahkan korban.
Sementara cyberbullying adalah bentuk perundungan yang dilakukan lewat media
digital seperti media sosial, pesan singkat, grup chat, atau platform
online lainnya.
Contoh:
- Menghina
di media sosial, membuat meme ejekan.
- Menyebarkan
foto atau video pribadi tanpa izin.
- Mengucilkan
seseorang dari grup online.
- Mengirim
pesan ancaman atau intimidasi.
2. Mengapa Orang Melakukan Bullying
Ada
beberapa alasan psikososial yang mendorong seseorang menjadi pelaku bullying.
Ini bukan sekadar soal “nakal”, tapi seringkali ada faktor yang lebih dalam:
- Ingin
Berkuasa atau Dianggap Hebat
Banyak pelaku merasa “berkuasa” saat bisa mengendalikan atau mempermalukan orang lain. Ini sering muncul karena mereka sendiri kurang mendapat rasa dihargai di lingkungannya. - Menyalurkan
Emosi atau Masalah Pribadi
Beberapa pelaku justru pernah menjadi korban di rumah atau lingkungan lain, sehingga mereka menyalurkan rasa marah, kecewa, atau rendah diri dengan menyakiti orang lain. - Tekanan
Sosial atau Ingin Diterima
Dalam kelompok teman, kadang seseorang ikut-ikutan mengejek agar dianggap “kompak” atau “tidak lemah”. Ini banyak terjadi di kalangan remaja. - Kurangnya
Empati dan Kontrol Diri
Pelaku sering tidak memahami atau tidak peduli bagaimana perasaan korban. Ini bisa disebabkan oleh kurangnya pendidikan karakter atau keteladanan dari orang dewasa.
3. Sanksi dan Konsekuensi bagi Pelaku
Tindakan
bullying bukan hal sepele.
Secara sosial, pelaku bisa kehilangan kepercayaan dari teman, guru, dan lingkungan.
Secara hukum dan pendidikan:
- Di
sekolah, pelaku bisa dikenai sanksi disiplin
(pembinaan, skorsing, bahkan pemindahan sekolah).
- Di
dunia digital, cyberbullying termasuk pelanggaran hukum.
Berdasarkan UU ITE No. 11 Tahun 2008 Pasal 27 dan 28, pelaku bisa
dikenai pidana penjara hingga 6 tahun dan/atau denda hingga Rp 1 miliar
jika menyebarkan konten yang mencemarkan nama baik atau berisi ancaman.
4. Kalau Kita Jadi Korban, Apa yang Harus
Dilakukan?
Inilah
bagian paling penting — bagaimana kita menghadapi situasi itu dengan bijak
dan kuat, tanpa membuat luka makin dalam.
- Jangan
Melawan dengan Cara yang Sama
Melawan dengan marah atau balas menghina hanya memperpanjang masalah. Ingat: pelaku ingin memancing emosi kita. Ketika kita tenang, mereka kehilangan kendali. - Simpan
Bukti
Kalau ini cyberbullying, screenshot, rekam, atau simpan semua bukti. Ini bisa dipakai jika perlu laporan ke guru BK, orang tua, atau pihak berwenang. - Bicarakan
dengan Orang yang Bisa Dipercaya
Jangan hadapi sendiri. Ceritakan ke guru, orang tua, sahabat, atau konselor sekolah. Dukungan sosial sangat penting agar kita tidak terjebak dalam rasa takut atau malu. - Bangun
Kekuatan Diri dan Dukungan Positif
Fokuslah pada kegiatan positif: ikut komunitas, olahraga, atau aktivitas yang membuat kita merasa berarti. Lingkungan positif bisa memperkuat rasa percaya diri. - Konsultasi
Psikolog Jika Trauma
Kalau mulai merasa takut, cemas, sulit tidur, atau kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu disukai — jangan ragu datang ke psikolog sekolah atau layanan konseling. Ini bukan tanda lemah, tapi bentuk kepedulian pada diri sendiri.
5. Diam Bukan Berarti Lemah — Tapi Tahu Waktu untuk
Bertindak
Kadang diam
adalah cara paling bijak untuk memutus lingkaran provokasi.
Namun diam total tanpa mencari bantuan juga tidak benar.
Yang tepat adalah tidak bereaksi impulsif, tetapi bertindak strategis —
melapor, mencari dukungan, dan menjaga martabat diri.
6. Solusi Bijak untuk Mengurai Trauma
- Terima
bahwa ini bukan salah kita.
Korban sering merasa bersalah atau malu, padahal kesalahan ada pada pelaku. - Pulihkan
kepercayaan diri perlahan.
Bisa lewat journaling (menulis perasaan), berbicara dengan teman suportif, atau ikut kegiatan sosial. - Jangan
menutup diri.
Rasa trauma sering membuat seseorang menjauh dari orang lain. Justru, berbagi cerita dengan orang tepercaya bisa mempercepat penyembuhan.
7. Penutup
Bullying
dan cyberbullying bukan sekadar masalah perilaku remaja, tapi cermin kesehatan
sosial sekolah dan keluarga.
Kuncinya adalah empati, komunikasi, dan keberanian untuk peduli — baik
dari korban, pelaku, maupun lingkungan.
Seperti
kata psikolog pendidikan Dr. Dan Olweus (1993), pelopor penelitian
bullying di Norwegia:
“Bullying
bukan hanya masalah antara dua individu, tapi masalah seluruh komunitas yang
membiarkan kekuasaan disalahgunakan.”

