Fenomena Jilbab “Ketat” di Dunia Modern

0

 


Dalam beberapa tahun terakhir, terutama di media sosial seperti Instagram, TikTok, atau bahkan kehidupan nyata di kota-kota besar, semakin banyak wanita berhijab yang berpakaian ketat, menonjolkan lekuk tubuh, atau menggunakan gaya berpakaian yang dianggap “seksi tapi tertutup.”

Fenomena ini sering disebut sebagai “hijab fashion modern” atau dalam istilah populer dunia maya: “modest fashion dengan sentuhan stylish.”
Jadi, meskipun jilbabnya ada, gaya berpakaian di sekitarnya justru meniru tren pakaian umum: celana ketat, baju crop, outer panjang, atau bahan yang melekat di tubuh.

 

Aneh atau Sudah Jadi Fashion?

Secara sosiologis, ini tidak lagi dianggap aneh di kalangan masyarakat urban dan generasi muda.
Mode telah bergeser menjadi bentuk ekspresi diri dan identitas sosial.
Mereka ingin tetap tampil menarik, modern, dan diterima secara sosial — tapi di sisi lain tetap memegang simbol keislaman melalui jilbab.

Bisa dibilang, ini adalah kompromi antara nilai agama dan kebutuhan eksistensi sosial.

Namun, bagi sebagian kalangan yang berpegang teguh pada kaidah syariat, hal ini dianggap menyimpang dari makna hijab sebenarnya.
Karena fungsi jilbab bukan hanya menutup rambut, tapi juga menjaga aurat dan tidak menonjolkan lekuk tubuh.

 

Benturan dengan Aturan Agama Islam

Dalam Islam, prinsip berpakaian bagi perempuan diatur jelas:
pakaian harus menutup aurat, tidak transparan, tidak ketat, dan tidak menyerupai pakaian laki-laki atau orang kafir.
Hal ini termaktub dalam beberapa hadis dan tafsir dari QS. An-Nur:31 dan QS. Al-Ahzab:59.

Jadi secara normatif agama, berpakaian ketat meski berjilbab memang tidak sesuai dengan aturan syar’i.

Tetapi dalam praktik sosial, banyak perempuan berhijab seperti ini bukan karena menolak agama, melainkan karena:

  1. Kurang pemahaman mendalam tentang makna hijab sejati.
  2. Tekanan sosial dan budaya populer, di mana cantik diidentikkan dengan bentuk tubuh dan tren fashion.
  3. Pencarian identitas, terutama di usia remaja dan dewasa muda yang sedang mencari “gaya hidup Islami tapi tetap keren.”
  4. Pengaruh influencer dan brand hijab, yang menjadikan modest fashion sebagai industri besar bernilai miliaran rupiah.
  5. Keinginan diterima sosial, agar tidak dianggap “kolot” atau “ketinggalan zaman.”

 

Mereka Tidak Tahu, atau Sengaja?

Tidak semuanya sama. Ada tiga kelompok besar:

  1. Yang tidak tahu secara mendalam.
    Mereka berpikir asal rambut tertutup berarti sudah cukup.
  2. Yang tahu tapi memilih menutup mata.
    Biasanya karena ingin menyeimbangkan gaya dan keyakinan.
  3. Yang tahu tapi tetap melakukannya dengan alasan pribadi.
    Misalnya: “Aku masih proses hijrah”, “yang penting niatnya”, atau “aku nyaman begini.”

Jadi, fenomena ini lebih kompleks dari sekadar “benar atau salah” — ini soal proses sosial, identitas, dan pemaknaan agama yang personal.

 

Penutup: Antara Iman dan Gaya

Fenomena wanita berjilbab tapi berpakaian ketat bukan hanya soal pakaian, tapi cerminan benturan antara budaya global dan ajaran agama.
Agama mengajarkan kesederhanaan dan kehormatan, sementara dunia modern menuntut ekspresi dan estetika.
Keduanya sering bertabrakan — dan dari situlah muncul dinamika seperti ini.

Sebagai masyarakat, daripada langsung menghakimi, lebih baik membuka ruang dialog, edukasi, dan keteladanan.
Karena perubahan tidak bisa dipaksa dari luar, tapi tumbuh dari kesadaran dalam diri.

 

Kalimat sederhana yang bisa merangkum ini:

“Mereka bukan tidak mau taat, tapi sedang berproses antara ingin terlihat baik di mata Tuhan dan diterima di mata manusia.”

 


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)