Fenomena
di era digital sekarang menunjukkan perubahan cara berpikir dan berperilaku
banyak orang, terutama generasi muda Muslim. Banyak yang lebih fokus pada outfit,
gaya, tren fashion, dan citra diri di media sosial — sementara nilai-nilai
syariat seperti aurat, kesederhanaan, dan niat justru sering dianggap tidak
terlalu penting. Fenomena ini bukan sekadar persoalan pakaian, tetapi persoalan
cara pandang hidup (mindset).
Untuk
memahami ini secara mendalam, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan:
psikologi sosial, budaya digital, identitas diri, dan pemahaman agama.
1. Media Sosial dan Budaya Visual
Media
sosial seperti TikTok, Instagram, atau YouTube membuat penampilan menjadi hal
yang sangat penting. Dunia digital adalah dunia gambar, dan gambar paling mudah
diterima otak manusia. Karena itu, seseorang dinilai bukan dari akhlaknya,
ilmunya, atau adabnya — tetapi dari visual yang terlihat pertama kali.
Menurut
penelitian Twenge (2020), platform visual meningkatkan perilaku self-objectification
atau menilai diri dari sudut pandang orang lain.
Akibatnya:
- Banyak
orang memakai baju bukan karena fungsinya, tapi agar “keren di kamera.”
- Hijab
dan pakaian syar’i kadang digunakan sebagai fashion item, bukan
sebagai wujud ketaatan.
2. Pengaruh Budaya Konsumerisme
Industri
fashion, terutama fast fashion, menciptakan budaya baru: selalu ingin
tampil baru.
Branding
seperti OOTD, haul baju, atau mix and match mendorong pola
pikir bahwa nilai seseorang diukur dari pakaian yang dikenakan. Hal ini sesuai
dengan konsep “you are what you wear,” yang diperkuat melalui iklan dan
influencer.
Dalam
perspektif agama, ini bertentangan dengan pesan kesederhanaan (QS. Al-A'raf:
31), di mana Allah memerintahkan memakai pakaian yang baik, namun tanpa
berlebih-lebihan (israf).
3. Identitas dan Eksistensi Diri
Bagi
sebagian orang, outfit bukan hanya pakaian, tapi bahasa untuk menunjukkan siapa
dirinya. Identitas sekarang sering dibangun dari:
- Style
- Brand
baju
- Warna
aesthetic
- Tren
TikTok/Instagram
Sayangnya,
identitas keagamaan justru diposisikan sebagai opsional, bukan prinsip
hidup.
Contohnya:
Ada yang
berhijab hanya saat sekolah atau ke acara resmi, tetapi melepas atau mengubah
gaya hijab menjadi “fashionable” ketika nongkrong.
Fenomena
ini menunjukkan bahwa nilai agama dianggap fleksibel mengikuti situasi,
bukan sebagai pedoman tetap.
4. Normalisasi Perilaku melalui Influencer
Influencer
adalah “guru modern.” Banyak orang lebih percaya pada konten 30 detik dibanding
ceramah satu jam. Ketika influencer memperlihatkan gaya hidup glamor, modis,
dan bebas, maka hal itu dianggap sebagai standar normal — bahkan ideal.
Sedikit
demi sedikit, batas syariat menjadi kabur:
- Baju
ketat dianggap fashionable.
- Hijab
pendek atau model “turban” dianggap “modern”.
- Perhatian
pada aurat dianggap “kolot.”
Padahal
dalam Islam, pakaian memiliki fungsi: menutup aurat, menjaga kehormatan, dan
menunjukkan ketaatan, bukan sekadar estetika.
5. Pergeseran Makna Hijab dan Syariat
Hijab
seharusnya bagian dari ibadah, bukan tren. Namun sebagian orang memandang hijab
sebagai:
- Aksesoris
- Gaya
hidup
- Trend
mode
- Identitas
budaya, bukan ibadah
Akibatnya,
hijab syar’i berubah menjadi hijab fashion, dan pelanggaran terhadap
syariat dianggap wajar jika “estetik.”
6. Kesenjangan antara Ilmu dan Niat
Sebagian
orang memakai busana syar’i tanpa memahami alasan syariat. Ketika niatnya bukan
karena Allah, maka standar berpakaian mudah berubah oleh:
- Mood
- Lingkungan
- Komentar
orang
- Tren
baru
Inilah
yang disebut ulama sebagai agama tanpa kesadaran: ritual jalan, tapi
makna hilang.
Kesimpulan
Fenomena
mengutamakan outfit dibanding syariat bukan sekadar masalah tren pakaian,
melainkan perubahan pola pikir yang dipengaruhi:
✔ media sosial
✔ budaya konsumerisme
✔ pencarian identitas diri
✔ lemahnya pemahaman agama
✔ normalisasi perilaku oleh influencer
Seharusnya,
Islam tidak menolak keindahan atau fashion — bahkan Nabi ï·º bersabda bahwa Allah
menyukai keindahan. Tetapi keindahan harus tetap berada dalam batas ketaatan,
bukan mengorbankan nilai-nilai agama demi penampilan.
Penutup Reflektif
Pada
akhirnya, pertanyaan terpenting bukan:
"Outfit
saya cocok tidak?"
Tetapi:
"Apakah
Allah ridha dengan cara saya berpakaian?"
Karena
pada hari akhir, manusia tidak akan ditanya brand pakaian yang dipakai, tapi ketakwaan
di balik pilihan itu.

