1. Tidak Semua Hal Layak Dipublikasikan
Di zaman
sekarang, banyak orang menganggap media sosial seperti buku harian atau ruang
bebas tanpa batas. Ada yang update setiap jam—mulai dari bangun tidur, menu
sarapan, mencuci baju, marah sama tetangga, sampai curhat rumah tangga.
Contohnya:
- “Aku
kesel banget sama suami, laki kok gak peka!”
- Foto
tumpukan cucian dan tulisan: “Capek, hidup kok begini?”
- Video
cekcok keluarga atau anak dimarahi.
Awalnya
mungkin terasa lucu atau sekadar mencari perhatian, tapi tanpa sadar itu
memperlihatkan privasi, keluarga, dan harga diri sendiri.
Bukan
cuma orang Indonesia yang lihat—itu bisa dilihat seseorang di Jepang,
Inggris, Mesir, Amerika, atau siapa pun.
Dan sekali viral, kita tidak bisa tarik kembali.
2. Fenomena “Konten Apa Saja Jadi Hiburan”
Ada tren
lain: semakin ekstrem konten, semakin besar perhatian.
Misal:
- Joget
berlebihan walau memakai hijab.
- Konten
mandi guyur untuk dapat sawer dan follower.
- Pakaian
ketat, menonjol, dan sengaja dibuat menggoda.
Yang
membuat miris, ini dilakukan:
- Remaja
siswa sekolah
- Mahasiswi
- Ibu-ibu
- Bahkan
beberapa muslimah yang sebenarnya paham syariat
Banyak
yang berpikir,
“Ah cuma konten, gak niat macem-macem.”
Tetapi
efeknya nyata:
- Konten
itu bisa menjadi bahan fantasi orang lain.
- Bisa
memancing komentar vulgar.
- Bisa
dicopy, diubah, dan disebarkan ulang tanpa izin.
- Bisa
muncul lagi 10 tahun kemudian ketika sudah berhijrah.
Dan lebih
buruk lagi, bisa menjadi dosa jariyah jika orang lain ikut terdorong
meniru atau mendapat dampak buruk.
3. Media Sosial Dijadikan Ajang Pembuktian Diri
Kadang
kita tidak sadar, media sosial membentuk pola pikir:
“Jika
tidak di-posting, rasanya hidup tidak berarti.”
Contoh:
- Liburan
harus foto dulu baru menikmati.
- Makan
harus difoto dulu sebelum dimakan.
- Amal
harus direkam, bukan diamalkan.
Padahal
yang kita kejar bukan kebahagiaan, tapi pengakuan.
Imam
Al-Ghazali berkata:
“Ketika
hati ingin dilihat manusia, maka amal bukan lagi untuk Allah.”
4. Bahaya Pamer Diri Tanpa Sadar
Banyak
konten yang awalnya dianggap biasa, tapi sebenarnya membuka pintu masalah:
|
Jenis Konten |
Dampak yang Mungkin Terjadi |
|
Foto anak tanpa sensor |
Bisa dicuri untuk iklan palsu, predator, atau deepfake |
|
Curhat pernikahan |
Merusak hubungan dan menciptakan fitnah |
|
Pamer kekayaan |
Mengundang iri, pencurian, atau penipuan |
|
Pamer tubuh/aurat |
Jadi bahan editan, fantasi, atau tersebar tanpa kontrol |
|
Lokasi real-time |
Membuka peluang kejahatan |
Kadang
kita lupa, internet tidak punya tombol “kembali” yang sesungguhnya.
5. Dari Sisi Agama: Tidak Semua yang Boleh
Dilakukan, Layak Dipamerkan
Islam
mengajarkan haya’ (malu) sebagai benteng diri.
Rasulullah
ï·º bersabda:
“Malu itu bagian dari iman.” (HR. Bukhari)
Artinya, tidak
semua yang kita lakukan harus dilihat orang.
Ada hal yang harus dijaga, bukan dipertontonkan.
Bahkan
aib pribadi sekalipun, jika kita sebarkan sendiri, itu sama saja menghilangkan
penutup yang Allah berikan.
6. Sebelum Posting, Tanyakan Hal Ini:
✔ Apakah ini berguna atau cuma cari perhatian?
✔ Apakah ini membuka aurat atau merendahkan martabat
diri?
✔ Apakah orang tua, guru, atau masa depan saya akan
malu melihat ini?
✔ Apakah ini mendatangkan pahala atau justru
mengundang dosa?
✔ Apakah kalau sudah viral, saya siap menanggung
akibatnya?
Jika
jawabannya membuat hati ragu, lebih baik tidak diposting.
Penutup: Media Sosial Bukan Tempat Hilangnya Rasa
Malu
Media
sosial bisa jadi ladang pahala: berbagi ilmu, inspirasi, kebaikan, dan
motivasi.
Tapi bisa
juga jadi tempat:
- Menjual
diri
- Menjatuhkan
martabat
- Menyebarkan
aib
- Mengundang
dosa
Kita
hidup di zaman di mana aurat dianggap konten, dan aib dianggap hiburan.
Maka sudah saatnya kita bertanya:
Apakah
saya menggunakan media sosial, atau justru media sosial yang mengendalikan
saya?

