1. Apa
itu Fomo / Ikut-ikutan Tren?
Fenomena Fomo
adalah perilaku ketika seseorang merasa "takut ketinggalan" atau
tertekan untuk mengikuti tren yang sedang populer, baik itu gaya hidup, cara
berpakaian, konten media sosial, maupun tontonan televisi. Fenomena ini muncul
karena adanya tekanan sosial (peer pressure) dan dorongan untuk mendapatkan
pengakuan dari lingkungan.
2. Dampak
Fomo dalam Kehidupan Masyarakat
Dampak
Positif
- Meningkatkan kreativitas: Tren bisa memunculkan
ide-ide baru dalam musik, seni, teknologi, atau bisnis.
Contoh: Tren konten edukasi singkat di TikTok membuat anak muda bisa belajar cepat tentang sains atau agama. - Memperkuat solidaritas
sosial:
Tren tertentu bisa menyatukan komunitas.
Contoh: Gerakan sosial online untuk membantu korban bencana, yang ramai diikuti di Instagram dan Twitter.
Dampak
Negatif
- Hilangnya identitas diri: Orang lebih suka meniru
ketimbang mengembangkan jati diri.
Contoh: Remaja meniru gaya selebgram (pakaian ketat, hedonisme) meski tidak sesuai dengan budaya atau agamanya. - Meningkatkan perilaku
konsumtif:
Ikut tren sering berarti membeli barang baru agar dianggap "up to
date".
Contoh: Tren gonta-ganti gadget terbaru meskipun belum perlu. - Konten tidak mendidik: Banyak tren yang bersifat
merusak moral.
Contoh: Challenge berbahaya seperti "blackout challenge" atau joget di tempat umum yang melanggar norma. - Kecemasan sosial: Orang merasa minder atau
rendah diri bila tidak bisa mengikuti tren.
3.
Perspektif Syariat Islam
Dalam
Islam, mengikuti tren tidak dilarang selama tidak bertentangan dengan
syariat. Namun banyak tren yang justru membawa keburukan.
Hal-hal
yang Baik
- Tren berbagi kebaikan,
sedekah online, konten dakwah kreatif.
- Tren gaya hidup sehat sesuai
anjuran Rasulullah ï·º.
Hal-hal
yang Buruk
- Meniru yang dilarang: Rasulullah ï·º bersabda:
"Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka" (HR. Abu Dawud). - Mengedepankan hawa nafsu: Tren pakaian terbuka, gaya
pacaran bebas, atau konsumtif jelas bertentangan dengan Islam.
- Menyia-nyiakan waktu: Terlalu sibuk ikut
challenge tidak bermanfaat dibandingkan memperbanyak amal.
Maka,
dari sisi syariat, tren umumnya lebih banyak mudharatnya jika tidak disaring.
4. Cara
Mengatasi Fenomena Fomo
- Filter tren dengan akal
sehat dan agama
Tanyakan: Apakah tren ini bermanfaat? Apakah sesuai syariat? - Bangun identitas diri
Fokus pada potensi dan prinsip diri, bukan sekadar ikut-ikutan. - Pendidikan literasi digital
Ajarkan sejak dini bagaimana memilah konten yang baik dan buruk. - Perkuat lingkungan positif
Ikut komunitas yang mendukung nilai Islam dan produktivitas, bukan sekadar hura-hura. - Bijak menggunakan media
sosial
Batasi waktu, pilih akun yang menginspirasi, dan jangan mudah tergoda dengan popularitas semu.
5.
Kesimpulan
Fenomena Fomo
adalah gejala sosial modern akibat derasnya arus media. Ia bisa membawa manfaat
jika tren diarahkan pada hal positif, tetapi lebih sering menjerumuskan pada
sikap konsumtif, hilangnya identitas, bahkan pelanggaran syariat.
Islam
mendorong umatnya agar selektif, tidak ikut-ikutan secara buta, dan
selalu menimbang tren berdasarkan manfaat, akhlak, serta ketentuan agama.
1.
Perbedaan Tekanan Sosial Dulu dan Sekarang
a. Zaman
Dulu
- Lingkungan terbatas: Tekanan sosial lebih
banyak datang dari keluarga, tetangga, atau komunitas kecil.
Contoh: Anak desa merasa harus ikut kerja bakti agar diterima masyarakat. - Tren lebih lambat menyebar: Informasi hanya dari mulut
ke mulut, surat kabar, atau televisi.
Contoh: Model pakaian baru butuh waktu berbulan-bulan untuk populer di berbagai daerah. - Norma lebih kuat: Adat dan agama menjadi
filter utama, sehingga orang lebih berhati-hati dalam bertingkah.
b. Zaman
Sekarang
- Lingkungan global: Tekanan sosial datang
bukan hanya dari tetangga, tapi juga dari dunia maya.
Contoh: Remaja merasa harus punya gaya seperti artis Korea atau influencer TikTok. - Tren menyebar cepat: Viral di media sosial,
dalam hitungan jam semua orang bisa ikut-ikutan.
- Norma melemah: Banyak orang lebih
mengutamakan likes dan followers dibanding nilai budaya atau
agama.
- Perbandingan sosial instan: Media sosial membuat orang
mudah membandingkan dirinya dengan orang lain (social comparison).
➡️ Jadi, perbedaan utamanya: dulu tekanan bersifat lokal dan lebih
terkendali, sekarang tekanan bersifat global, instan, dan seringkali lebih kuat
dari norma sosial atau agama.
2. Kenapa
Selalu Ada Rasa Ingin Mengikuti Tren?
Fenomena
ini dapat dijelaskan dari beberapa aspek:
a.
Psikologi Sosial
- Kebutuhan untuk diterima
(need to belong):
Manusia adalah makhluk sosial. Ikut tren menjadi cara agar dianggap bagian
dari kelompok.
- Takut dikucilkan (fear of
exclusion):
Jika tidak ikut tren, seseorang bisa dianggap “aneh” atau “ketinggalan
zaman”.
b.
Psikologi Individu
- Rasa identitas yang belum
matang:
Remaja cenderung meniru karena masih mencari jati diri.
- Rasa percaya diri rendah: Orang yang kurang percaya
diri lebih mudah ikut-ikutan agar terlihat sama dengan yang lain.
c. Teori
Ekonomi & Budaya Konsumsi
- Efek "bandwagon": Dalam ekonomi, orang
membeli sesuatu karena orang lain juga membelinya.
Contoh: Tren membeli iPhone terbaru meski belum perlu. - Budaya hedonisme modern: Media sosial menanamkan
citra bahwa bahagia berarti harus ikut gaya hidup tertentu.
d.
Perspektif Islam
- Islam mengingatkan bahwa
mengikuti tren tanpa berpikir kritis adalah bentuk “tasyabbuh”
(menyerupai sesuatu yang tidak sesuai dengan identitas muslim).
- Allah berfirman dalam
Al-Qur’an:
"Dan jika kamu mengikuti
kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allah..." (QS. Al-An‘am: 116).
Artinya,
rasa ingin ikut-ikutan memang alami, tapi bila tidak difilter dengan iman dan
akal sehat, bisa menjerumuskan.
3.
Kesimpulan
- Dulu: Tekanan sosial lebih
lokal, normatif, dan lambat.
- Sekarang: Tekanan sosial global,
instan, dan sangat kuat karena pengaruh media sosial.
- Alasan ikut tren: kebutuhan sosial,
pencarian identitas, tekanan ekonomi-budaya, serta kurangnya kontrol diri.