1. Tidak Ada Istilah "Pacaran" dalam
Islam
Dalam
ajaran Islam, tidak dikenal istilah pacaran. Hubungan antara laki-laki
dan perempuan yang bukan mahram hanya diatur dalam dua bentuk yang jelas:
- Pertemanan/ukhuwah
islami – sebatas interaksi sosial sesuai kebutuhan
(belajar, bekerja, bermasyarakat) dengan menjaga adab.
- Pernikahan –
ikatan resmi yang sah secara syariat dan hukum.
Adapun
pacaran, yang dimaknai sebagai hubungan emosional-romantis antara lawan jenis
tanpa ikatan pernikahan, tidak pernah ada dalam istilah fiqih maupun tradisi
Islam. Bahkan, ulama menyebutnya sebagai bentuk mendekati zina, sesuai
dengan larangan Allah:
“Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
(QS. Al-Isra’ [17]: 32)
Artinya,
sekalipun belum berzina secara fisik, perilaku yang membuka jalan ke arah
itu—seperti pacaran—sudah termasuk dalam peringatan Allah.
2. Asal-usul Istilah "Pacaran"
Secara
historis, istilah pacaran di Indonesia diperkirakan mulai populer di era
kolonial Belanda hingga awal abad ke-20. Kata pacar sendiri awalnya
merujuk pada:
- Pacar
(henna), tumbuhan yang digunakan untuk hiasan kuku,
melambangkan keindahan atau tanda cinta.
- Dalam
bahasa Jawa dan Betawi, pacar berarti pasangan atau kekasih. Dari
sini lahirlah kata kerja "pacaran" yang berarti menjalin
hubungan cinta sebelum menikah.
Pada masa
itu, modernisasi Barat mulai masuk ke Indonesia melalui sekolah-sekolah
Belanda, film, musik, dan budaya populer. Konsep "dating" ala Eropa
dan Amerika—bertemu, berdua, saling mengenal sebelum menikah—mulai ditiru oleh
generasi muda pribumi. Dari sinilah istilah pacaran mendapat tempat dan makin
meluas di kalangan remaja.
3. Gaya Pacaran Masa Kini
Fenomena
pacaran di era modern sudah jauh bergeser dari sekadar "jalan
bersama" atau "bertukar surat cinta". Kini, gaya pacaran
dipengaruhi media sosial, film, dan budaya global. Beberapa bentuk perilakunya
antara lain:
a. Pacaran Virtual (Online Dating)
- Remaja
menjalin hubungan lewat WhatsApp, Instagram, TikTok, atau aplikasi kencan.
- Contoh:
saling chat setiap malam hingga larut, video call berjam-jam, atau
bertukar foto yang berlebihan.
- Bahaya:
kedekatan emosional tanpa kontrol orang tua, potensi cyberbullying, hingga
pornografi.
b. Pacaran Eksperimen (Trial Relationship)
- Banyak
remaja menganggap pacaran hanya "uji coba" sebelum menikah.
- Contoh:
gonta-ganti pasangan, “coba-coba” pacaran dengan banyak orang.
- Bahaya:
merusak konsep kesetiaan, menumbuhkan luka emosional, dan berpotensi
trauma.
c. Pacaran Fisik (Bertemu Intens)
- Hubungan
didominasi dengan pertemuan fisik: jalan ke mall, nonton bareng, nongkrong
di café, atau touring bersama.
- Contoh:
bergandengan tangan, berpelukan, bahkan melewati batas syar’i.
- Bahaya:
membuka peluang besar menuju perzinaan.
d. Pacaran Tersembunyi (Backstreet)
- Banyak
remaja pacaran tanpa diketahui orang tua/guru.
- Contoh:
pura-pura kerja kelompok padahal jalan berdua, atau sembunyi-sembunyi
komunikasi lewat akun media sosial khusus.
- Bahaya:
menciptakan kebohongan dan hilangnya rasa hormat pada orang tua.
e. Pacaran Flexing di Media Sosial
- Menunjukkan
hubungan ke publik agar terlihat keren.
- Contoh:
upload foto bareng dengan caption romantis, story setiap hari tentang
pasangan.
- Bahaya:
tekanan sosial, iri hati dari orang lain, hingga cyberstalking.
4. Evaluasi untuk Remaja Masa Kini
Fenomena
pacaran saat ini sebenarnya hanyalah hasil konstruksi budaya luar yang
dibungkus dengan istilah keren. Jika ditelusuri, dampaknya lebih banyak
merugikan:
- Secara
spiritual: menjauhkan dari Allah, melemahkan ibadah,
dan menormalisasi maksiat kecil.
- Secara
psikologis: menimbulkan ketergantungan emosional,
cemburu buta, bahkan depresi ketika putus.
- Secara
sosial: merusak fokus belajar, memicu konflik antar
teman, dan mengurangi produktivitas.
- Secara
moral: mengikis rasa malu (haya’) yang menjadi
benteng diri seorang muslim.
5. Penutup
Pacaran
bukanlah bagian dari Islam, melainkan fenomena budaya yang masuk lewat pengaruh
luar. Sayangnya, gaya pacaran masa kini semakin bebas, bahkan sering dianggap
sebagai "wajar" oleh sebagian remaja. Padahal, secara syariat maupun
dampak sosial, pacaran lebih banyak membawa kerugian daripada kebaikan.
Sebagai
bahan refleksi, remaja perlu memahami bahwa cinta dalam Islam diarahkan ke
arah yang halal, yaitu pernikahan. Jika memang belum siap menikah, maka
fokus utama adalah belajar, berprestasi, dan memperbaiki diri agar kelak siap
menjadi pasangan yang baik dalam ikatan pernikahan.