Tembok yang Memisahkan
Pagi itu, matahari sudah tinggi ketika Rendi baru membuka mata. Alarmnya
sudah bunyi berkali-kali, tapi ia lebih memilih menekan tombol snooze sambil
melanjutkan mimpi jadi pemain bola terkenal. Akhirnya, ia baru bangun jam
delapan kurang seperempat.
“Waduh, mampus! Udah telat!” serunya panik sambil buru-buru mencuci muka
ala kadarnya.
Rendi memang bukan siswa teladan di SMKN Rajapolah. Catatan bolosnya
tebal, nilai pas-pasan, dan sering jadi biang kerok. Tapi anehnya, kalau dia
nggak ada di kelas, suasana mendadak sepi, kayak nasi goreng tanpa kecap.
Hambar.
Hari itu, Rendi punya ide "brilian". Daripada lewat gerbang
depan dan dimarahi satpam, lebih baik lewat jalan ninja: lompat
pagar.
Dia menatap tembok sekolah yang lumayan tinggi. “Kayak di film-film, nih.
Masa gue nggak bisa?” gumamnya sambil pemanasan ala kadet TNI.
Namun baru saja ia menginjak tembok, suara galak terdengar menusuk
telinga.
“HEI!!! KETAHUAN!!!”
Rendi kaget, hampir jatuh. Ia menoleh, ternyata ada seorang siswi
berambut panjang yang mengenakan rompi OSIS: Tiara. Wajahnya jutek, matanya
tajam, kayak CCTV hidup.
“Waduh… petugas OSIS terkejam sedunia,” lirih Rendi sambil loncat ke
dalam.
Tiara langsung mengejarnya. “Berhenti kamu, Rendi!”
“Tolong… jangan buru-buru jatuh cinta gitu dong ngejar-ngejar gue,”
celetuk Rendi sambil lari kocar-kacir.
“Cinta apaan?! Dasar bandel!”
Adegan kejar-kejaran itu berakhir ketika Rendi tanpa sengaja menabrak Tiara.
Tiara hampir jatuh, tapi refleks Rendi menangkapnya. Posisi mereka jadi
canggung, kayak drama Korea murah.
Namun alih-alih malu, Tiara malah mendengus. “Ih, pegang-pegang aja.
Dasar nggak tau aturan!”
“Loh, bukannya aku nolongin?” jawab Rendi polos.
“Udah! Ikut aku ke kesiswaan sekarang juga!” serunya sambil menarik
lengan Rendi.
Perasaan yang Tumbuh
Sejak hari itu, entah kenapa, Rendi sering memperhatikan Tiara. Awalnya
karena kesel—kok bisa ya ada cewek sejutek itu? Tapi lama-lama, setiap melihat Tiara
marah-marah, hatinya berdegup aneh.
“Kenapa sih kalau dia ngomel malah lucu? Gawat, jangan-jangan aku…”
pikir Rendi.
Rendi mulai berubah. Ia sengaja datang tepat waktu biar bisa ketemu Tiara
di gerbang. Kadang ia pura-pura salah bawa buku biar diprotes. Bahkan, demi
bikin Tiara terkesan, ia mulai mengerjakan PR.
Teman-temannya sampai heran. “Mal, lo kenapa? Biasanya kan lo rajanya
bolos.”
“Cinta bisa mengubah segalanya, bro,” jawab Rendi dengan gaya sok
puitis.
Rahasia yang Menyakitkan
Suatu sore, saat Rendi memberanikan diri untuk menyatakan perasaan, ia
melihat sesuatu yang bikin jantungnya serasa diremas.
Tiara sedang duduk di kantin… bareng Ahsan.
Bukan sekadar duduk. Mereka kelihatan mesra, saling bercanda, dan ketika
Ahsan menggenggam tangan Tiara, dunia Rendi seolah berhenti.
Ahsan. Teman dekatnya sejak SMP. Partner nongkrong, sahabat
yang selalu ada.
“Serius? Kok bisa? Kenapa harus dia?” bisik Rendi dalam hati, matanya
panas.
Beberapa hari kemudian, Ahsan sendiri yang cerita.
“Mal, gue pacaran sama Tiara. Baru sebulan ini. Gue harap lo nggak masalah, ya?
Gue kira lo nggak bakal peduli, soalnya lo kan… ya, lo tau sendiri.”
Rendi hanya tersenyum kaku. “Iya, bro. Santai aja. Gue seneng kok lo
bahagia.”
Padahal, hatinya remuk.
Anak Nakal yang Berubah
Sejak itu, Rendi benar-benar berubah. Bukan lagi demi Tiara, tapi demi
dirinya sendiri. Ia mulai rajin belajar, berhenti bolos, bahkan ikut lomba
olahraga antar sekolah dan membawa piala.
Kelas terkejut melihat transformasinya. Guru-guru pun bangga.
Namun setiap kali melihat Tiara dan Ahsan bersama, hatinya tetap perih.
Ia hanya bisa tersenyum pahit, menyembunyikan luka di balik wajah cerianya.
“Kadang, orang yang kita kejar habis-habisan justru nggak pernah jadi
milik kita,” gumamnya sambil menatap langit sore.
“Tapi nggak apa-apa. Dari dia, aku belajar… cara jadi orang yang lebih
baik.”
Rendi mungkin kalah soal cinta, tapi ia menang dalam hidupnya sendiri.
✨ TAMAT ✨