Garis Kapur di Meja Kita

0

 

Bab 1: Awal Baru

Hari itu, matahari pagi menyinari gerbang besar SMKN Rajapolah.
Cinta melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Seragam putih abu yang ia kenakan tampak rapi, rambutnya diikat sederhana, dan wajahnya menyiratkan semangat seorang siswi baru yang siap menjalani lembaran hidup baru.

“Ini dia, sekolah yang katanya penuh prestasi. Aku pasti bisa bersinar di sini,” gumamnya sambil tersenyum.

Cinta diterima melalui jalur prestasi olahraga. Semua orang tahu betapa hebatnya dia di bidang voli. Ia yakin, hari-harinya di SMK ini akan dipenuhi kebahagiaan dan pengalaman baru yang indah.

Namun keyakinan itu goyah di hari pertama MPLS.


Bab 2: Tabarakan Pertama

Saat berjalan menuju lapangan, tiba-tiba seseorang menabraknya keras. Buku catatan yang dibawa Cinta jatuh berantakan.

“Eh, lihat dong kalau jalan!” seru Cinta, sedikit kesal.

Laki-laki itu—tinggi, berambut acak, wajahnya lumayan tegas—malah balik melotot.
“Harusnya kamu juga jangan jalan lambat di tengah-tengah. Aku buru-buru!”

Cinta menahan amarah. “Ya tetap aja kamu yang nabrak duluan!”

“Ya udah, salah bareng berarti.” Cowok itu, dengan cueknya, memungut bukunya lalu meletakkan ke tangan Cinta. “Udah kan? Jangan lebay.”

Cinta menatapnya tajam. Dalam hati ia berdesis: Astaga, ini orang rese banget.

Dan tanpa mereka sadari, pertemuan itu hanyalah awal.


Bab 3: MPLS dan Jawaban Beda

Hari kedua MPLS, semua siswa baru dikumpulkan di aula. Kakak kelas memberi instruksi:
“Sekarang, kita pilih dua orang secara acak untuk maju ke depan, memperkenalkan diri dan alasan memilih jurusan TJKT.”
Nama yang pertama dipanggil:
“Cinta Putri!”
Cinta berdiri tegak, maju ke depan dengan percaya diri.
“Aku memilih jurusan TJKT karena aku yakin bidang ini akan terus berkembang. Aku ingin sukses di dunia teknologi, dan aku ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa bersaing di dunia IT.”

Tepuk tangan sopan terdengar.

Kemudian nama kedua dipanggil:
“Rian Saputra!”

Cinta menoleh kaget. Ya ampun, si cowok rese itu lagi!

Rian maju santai, lalu dengan wajah datar berkata:
“Aku masuk TJKT… karena katanya banyak yang bisa jadi teknisi gratisan buat tetangga. Jadi hemat, kan?”
Seketika seluruh aula pecah dengan tawa.
Cinta menunduk, jengkel.

Bab 4: Kamu Lagi, Kamu Lagi

Hari pengumuman pembagian kelas tiba.
Cinta mencari namanya di papan pengumuman.
“X TJKT 1… oh, ini dia. Yah, semoga temen-temennya asik.”

Matanya bergeser ke bawah. Dan di sanalah tertulis nama yang membuat jantungnya langsung jedug-jedug.

Rian Saputra

“Ya ampun… kamu lagi, kamu lagi,” desisnya.

Belum cukup sampai situ, saat wali kelas membagi tempat duduk, entah kenapa takdir kembali mempermainkan Cinta.
“Cinta duduk sama Rian, di bangku nomor 3!”
“Hah?! Nggak bisa pindah, Bu?” protes Cinta.
“Tidak bisa. Kamu harus belajar menyesuaikan diri,” jawab wali kelas sambil tersenyum.
Rian menoleh dengan smirk menyebalkan.
“Selamat ya, jadi partner gue.”

Cinta menghela napas panjang. Hari-hari bakal kacau ini.


Bab 5: Bangku Kapur

Sejak hari itu, meja mereka jadi saksi bisu pertempuran kecil.
Cinta pernah menggambar garis batas dengan kapur di tengah meja.
“Ini wilayahku. Jangan sampai nyebrang.”
Tapi Rian malah sengaja menaruh penggarisnya melewati garis.
Ups—pensil Cinta jatuh tersenggol tangan Rian.
“Hei!” bentak Cinta.
“Kan nggak sengaja. Baper amat,” balas Rian santai.
Teman-teman sebangku lain hanya menertawakan mereka.
“Kayak kucing sama anjing, asli deh,” kata Lina, sahabat baru Cinta.

Bab 6: Rangga, Sang Ketua OSIS

Hari-hari sekolah mulai terasa padat. Setelah MPLS berakhir dan pembagian kelas diumumkan, Cinta resmi duduk di kelas TJKT 1—sayangnya sebangku dengan Rian yang selalu bikin pusing.

Namun di balik semua kekesalan itu, ada satu hal yang membuat hati Cinta bersemangat.
Sosok itu adalah Rangga, ketua OSIS SMKN Rajapolah.

Setiap kali upacara, setiap kali ada pengumuman di lapangan, Cinta selalu memperhatikannya diam-diam. Rangga punya aura pemimpin: tegas tapi hangat, disiplin tapi tetap bisa bikin suasana cair.


“Eh, jangan terusin melotot ke panggung, Cin. Nanti Rian keburu nyadar, terus ngejek kamu lagi,” bisik Lina, sambil tertawa kecil.
“Apaan sih, Lin! Aku cuma… ya cuma lihat doang.”
“Cieee, lihat doang.”

Cinta menunduk, pura-pura membuka buku, padahal wajahnya memerah.


 Bab 7 : Rangga Mulai Memperhatikan

Tak disangka, perhatian Cinta ternyata berbalas. Saat jam istirahat, Rangga sering terlihat melintas ke kantin. Beberapa kali matanya bertemu pandang dengan Cinta, dan ia menoleh sambil tersenyum tipis.

Bahkan suatu hari, ketika Cinta selesai latihan voli sore di lapangan, Rangga mendekat sambil membawa sebotol air mineral.

“Kamu Cinta, kan? Aku sempat lihat kamu latihan. Hebat, ya. Pantas bisa masuk jalur prestasi.”
Cinta terkesiap. Ia mengangguk pelan. “T-terima kasih, Kak…”
“Nggak usah panggil kak, panggil Rangga aja. Biar lebih akrab.”

Sejak saat itu, Rangga sering menyapa Cinta. Kadang hanya sekadar, “Semangat ya belajarnya,” atau “Jangan lupa makan siang.” Hal-hal kecil yang membuat Cinta senyum-senyum sendiri sepanjang hari.

 


Bab 8 : Momen Romantis yang Tak Disangka

Hari Jumat sore, sekolah mengadakan acara class meeting—perlombaan antar kelas. Aula ramai, penuh sorakan. Rangga, tentu saja, menjadi MC utama.

Cinta yang duduk bersama teman-temannya di deretan bangku belakang, lagi-lagi tak bisa melepaskan pandangannya. Dia kelihatan keren banget… batinnya.

Selesai acara, Rangga tiba-tiba menghampiri Cinta.

“Cinta, bisa ikut aku sebentar?”
Semua teman Cinta langsung ribut.
“Wooo, dipanggil ketua OSIS nih!”
“Fix, dia suka sama kamu, Cin!”

Wajah Cinta makin merah. Ia hanya bisa menunduk sambil mengikuti Rangga ke taman belakang sekolah.

Di sana, suasana jauh lebih sepi. Angin sore berhembus lembut, dan langit jingga keemasan.

Rangga berdiri di depan Cinta, wajahnya sedikit tegang.
“Cinta, aku tahu ini tiba-tiba. Tapi aku nggak mau pura-pura lagi. Dari awal aku lihat kamu di lapangan waktu MPLS, aku sudah kagum. Kamu semangat, cerdas, dan beda dari yang lain.”

Cinta terdiam, jantungnya berdetak cepat.

“Aku suka sama kamu, Cin. Aku pengen kita lebih dari sekadar kakak kelas sama adik kelas. Kamu mau jadi pacarku?”

Cinta menunduk, tangannya gemetar. Air mata haru menetes kecil, lalu ia tersenyum sambil mengangguk.
“Iya… aku mau.”

Rangga menarik napas lega, lalu tersenyum lebar. “Makasih… kamu nggak bakal nyesel.”


Bab 9 : Hari-hari Bahagia

Sejak itu, hidup Cinta seakan penuh bunga. Rangga selalu menyempatkan diri menemuinya, meski hanya sebentar. Saat jam istirahat, ia kadang datang ke kelas TJKT 1 hanya untuk menyapa.

“Udah makan, Cin?”
“Udah kok. Kamu sendiri?”
“Belum. Tapi lihat kamu aja udah kenyang.”
“Apaan sih, Rangga!” Cinta tertawa malu, sementara teman-temannya menggoda habis-habisan.

Setiap pulang sekolah, Rangga sering menunggu di depan gerbang, lalu berjalan bersama Cinta sampai jalan raya. Hal-hal kecil itu membuat Cinta merasa jadi orang paling beruntung di dunia.

Rian?
Tentu saja dia sering usil, menggoda Cinta soal hubungannya dengan Rangga.
“Wih, pacaran sama ketua OSIS. Pantes sok manis belakangan ini.”
“Urusin hidup kamu sendiri, deh!” balas Cinta ketus, meski dalam hati ia sebenarnya sedang berbunga-bunga.

Bagi Cinta, hari-hari itu adalah masa paling indah sejak ia masuk SMKN Rajapolah.

 


 

Bab 10: Rian dan Rahasia yang Terlihat

Hari itu jam istirahat, kantin sekolah dipenuhi suara riuh siswa yang antre makanan. Cinta dan Lina berjalan bersama, mencari meja kosong.

Tiba-tiba, langkah Cinta terhenti. Pandangannya tertuju pada sudut kantin.
Di sana, ia melihat Rian—si cowok rese yang selalu mengganggunya di kelas—sedang duduk bersama seorang cewek cantik berambut panjang, memakai pita biru di seragamnya.
“Eh, itu kan Rian?” bisik Lina.
“Iya… sama siapa tuh?” Cinta mengerutkan dahi.

Cewek itu ternyata Gisel, pacar Rian dari kelas sebelah. Mereka tampak akrab—Gisel menyuapi Rian sepotong risol, sementara Rian pura-pura menolak tapi ujung-ujungnya tetap membuka mulut.

“Ya ampun… norak banget,” gumam Cinta sambil berusaha menahan tawa. Tapi entah kenapa, melihat mereka berdua tertawa kecil, menggoda satu sama lain, terasa… manis.
Jadi si rese itu… bisa juga romantis kalau sama pacarnya.

Bab 11 : Hari yang Berbalik

Beberapa hari kemudian, suasana berbeda.
Saat jam pulang sekolah, kerumunan siswa memenuhi lapangan. Cinta yang berjalan bersama Lina penasaran, lalu ikut mendekat.

Di tengah kerumunan, terlihat Rian dan Gisel. Tapi kali ini, wajah Gisel merah padam, matanya berkilat marah.

“Rian! Aku capek sama kamu! Kamu egois, nggak pernah dengerin aku! Kita putus!” suara Gisel nyaring, membuat semua orang menoleh.

Rian terdiam, matanya membulat. “Apa sih, Gisel? Jangan di sini ngomongnya!”
“Kenapa? Malu? Padahal semua orang juga tahu kamu nggak pernah serius! Aku muak!”
Suasana gaduh. Beberapa siswa mulai berbisik-bisik, sebagian malah menertawakan. Rian mencoba menahan Gisel, tapi tangannya ditepis kasar.
“Aku udah nggak mau lagi sama kamu!” teriak Gisel, sebelum berlari meninggalkannya.

Rian berdiri di sana, kaku, wajahnya memerah bukan karena marah, tapi malu. Sorakan dan tawa dari beberapa anak makin memperparah keadaan.

Cinta yang melihat dari jauh merasa dadanya ikut sesak. Pantas aja dia sering rese di kelas… ternyata di luar dia juga bisa rapuh.


Bab 12 : Simpati yang Tak Disangka

Keesokan harinya, Cinta memperhatikan Rian di kelas. Biasanya ia selalu ribut, entah gangguin Cinta atau bercanda sama teman-temannya. Tapi kali ini, Rian hanya duduk diam, pandangan kosong ke papan tulis.

Saat istirahat, ia bahkan tidak beranjak dari kursi.

Dia kelihatan beda… apa masih mikirin Gisel? batin Cinta.

Iseng, Cinta mencoba mengusiknya. Ia menaruh penggarisnya sengaja melewati garis kapur di meja yang dulu mereka sepakati.
“Eh, Rian. Jangan nyerobot wilayah aku, dong.”
Tidak ada respon.
Rian hanya menoleh sebentar, lalu kembali menunduk, memainkan bolpoinnya tanpa bicara.
Cinta terdiam. Ada sesuatu yang aneh… ia merasa kehilangan ‘Rian yang rese’.
Dan untuk pertama kalinya, ia justru merasa ingin melihat cowok itu tertawa lagi.

Bab 13 : Di Persimpangan Perasaan

Malamnya, Cinta kembali teringat kejadian itu.
Bayangan Rian yang dipermalukan Gisel di depan semua orang, lalu wajahnya yang murung di kelas, terus terputar di kepalanya.

“Aneh…” gumamnya. “Padahal aku harusnya seneng kalau dia diem. Tapi kok… aku malah kasihan, ya?”

Ia menggenggam buku catatannya, perasaan campur aduk.
Entah kenapa, semenjak hari itu, cara Cinta memandang Rian perlahan berubah—walau ia belum mau mengakuinya.

Bab 14: Retaknya Hati

Awalnya, semua terasa sempurna. Cinta merasa hidupnya di SMKN Rajapolah begitu indah—punya sahabat yang seru, jurusan yang ia sukai, dan pacar seorang ketua OSIS yang perhatian.

Namun perlahan, awan gelap mulai menutupi hari-harinya.


Rangga yang Berubah

Jika dulu Rangga selalu menyempatkan diri menyapa, sekarang ia lebih sering berkata,
“Maaf ya, Cin. Aku sibuk rapat OSIS.”
Atau,
“Nanti aja kita ngobrolnya, aku ada urusan penting.”

Cinta mencoba mengerti. Toh, menjadi ketua OSIS memang bukan tanggung jawab kecil. Tapi entah kenapa, hatinya mulai terasa sepi.

Pernah suatu sore, Cinta sengaja menunggu di depan ruang OSIS hanya untuk sekadar menyapa. Tapi saat pintu terbuka, yang keluar adalah Rangga… bersama Nadya, salah satu anggota OSIS yang juga terkenal dekat dengannya. Mereka tertawa kecil, terlihat akrab, bahkan bahu mereka sempat bersentuhan.

Cinta berdiri terpaku.
“Cin? Kamu nungguin aku ya?” Rangga tersenyum singkat, lalu buru-buru menoleh ke Nadya.
“Oh iya, Nad, besok kita bahas lagi proposalnya ya.”
“Iya, Kak Rangga,” jawab Nadya sambil tersenyum manis.

Cinta hanya bisa mengangguk kecil ketika Rangga menoleh padanya. “Aku masih ada rapat lagi, Cin. Nanti aku kabarin, ya.”

Hatinya seperti diremas.


Bab 15 : Perasaan yang Tersisih

Hari-hari berikutnya pun terasa berbeda. Rangga jarang mengajak Cinta pulang bersama. Pesan singkat di chat hanya berisi balasan singkat: “Oke.” atau “Nanti.”

Lina, sahabatnya, mulai menyadari perubahan itu.
“Cin, kamu nggak keliatan bahagia kayak dulu. Ada apa sama Rangga?”
Cinta menunduk. “Aku nggak tahu, Lin. Kayaknya dia sibuk banget. Atau… mungkin udah nggak pentingin aku lagi.”

“Jangan mikir gitu. Mungkin cuma fase.” Lina mencoba menenangkan, meski nada suaranya ragu.

Namun keraguan Cinta makin kuat ketika ia melihat Rangga dan Nadya di kantin. Mereka duduk berdua, tertawa lepas, sementara Rangga sama sekali tidak menyadari kehadiran Cinta yang berdiri tak jauh dari sana.

Air mata Cinta hampir jatuh, tapi ia cepat-cepat menunduk dan berlari ke toilet.


Bab 16 : Hati yang Retak

Malam itu, di kamar, Cinta menatap layar ponselnya. Chat-nya dengan Rangga sepi. Terakhir ia mengirim pesan: “Selamat istirahat ya, Rangga. Jangan lupa makan.”
Sudah centang dua biru, tapi tak dibalas.
Ia menggigit bibirnya, lalu menaruh ponsel di meja. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Kenapa semua berubah secepat ini? Kenapa dulu begitu hangat, tapi sekarang aku seperti orang asing?

Cinta menangis dalam diam.

Hari berikutnya, ketika ia berusaha mengajak Rangga bicara di halaman sekolah, Rangga malah menjawab singkat:
“Cin, jangan marah, ya. Aku beneran lagi banyak pikiran. OSIS lagi banyak kerjaan. Jangan terlalu dipikirin, ya.”
Tapi bukan itu yang membuat Cinta sakit. Yang membuatnya hancur adalah ketika ia berjalan melewati lorong OSIS, dan mendengar suara Nadya bercanda:
“Kak, kalau kita terus bareng gini, nanti Cinta cemburu, lho.”
Lalu terdengar suara Rangga, pelan tapi jelas:
“Ah, udahlah. Dia ngerti kok.”

Cinta berdiri kaku. Hatinya serasa pecah berkeping-keping.


Bab 17 : Malam yang Sepi

Di rumah, ia hanya bisa menatap buku-bukunya. Semangat belajar yang dulu selalu ada kini menguap. Kepalanya penuh dengan bayangan Rangga dan Nadya.

“Sekolah ini nggak seperti yang aku bayangkan,” bisiknya pelan. “Aku pikir akan bahagia di sini. Tapi kenapa rasanya sakit begini?”

Air matanya lagi-lagi jatuh. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, menahan isak.

Yang ia tahu, hatinya sudah retak.


Bab 18 : Perpisahan yang Menyakitkan

Cinta sudah lama memendam resah. Malam-malam yang biasanya diisi dengan senyum saat membaca chat Rangga, kini berubah jadi hening penuh tanda tanya. Ia tahu, hubungan mereka perlahan tidak sama lagi. Rangga mulai jarang membalas pesan, lebih sering sibuk dengan kegiatan OSIS, dan belakangan… ia terlihat semakin dekat dengan salah satu pengurus OSIS lain.

Cinta mencoba menahan diri. “Mungkin cuma perasaan aku aja,” pikirnya. Tapi rasa sakit itu makin lama makin nyata, terutama ketika Rangga mulai tak lagi ada di saat ia butuh.

Hari itu, setelah sekolah, Cinta memberanikan diri. Ia mengajak Rangga bicara di taman kecil belakang aula, tempat yang dulu sering mereka lewati bersama. Tangannya dingin, hatinya berdegup kencang.

“Rangga… aku mau ngomong sesuatu,” suara Cinta pelan, hampir bergetar.

Rangga menatapnya sebentar, lalu mengangguk, “Ngomong aja. Ada apa?”
Sikapnya tenang, terlalu tenang, seolah tak merasa ada yang salah.

Cinta menarik napas dalam-dalam. “Aku rasa… hubungan kita nggak bisa kayak gini terus. Kamu sibuk, aku ngerti. Tapi… aku juga butuh pasangan yang hadir. Aku… aku capek nunggu.”

Rangga terdiam, alisnya sedikit terangkat. “Jadi maksud kamu?”

Cinta menunduk, suaranya patah, “Aku mau kita… putus.”

Hening. Angin sore berembus, membuat dedaunan bergoyang pelan. Cinta berharap Rangga akan menyangkal, menahannya, atau setidaknya bertanya alasan lebih dalam. Tapi yang ia dapatkan justru sebuah senyum tipis yang menohok.

“Kalau itu yang bikin kamu lebih lega… yaudah, terserah kamu,” jawab Rangga datar.

Cinta terdiam. Matanya memanas, tapi ia tahan agar air mata tidak jatuh di depannya. “Kamu… beneran nggak ada apa-apa yang mau kamu bilang?”

Rangga menghela napas, menatap ke arah lain. “Aku nggak mau maksa orang yang udah nggak nyaman sama aku. Lagian, mungkin kamu emang lebih cocok sama orang lain. Jadi… yaudah.”

Kalimat itu menghantam hati Cinta lebih keras daripada yang ia bayangkan. Ia kira Rangga akan menahannya, setidaknya mencoba memperbaiki. Tapi kenyataannya, ia dibiarkan pergi begitu saja.

“Baik… makasih, Rangga.”
Itu saja yang bisa ia ucapkan sebelum melangkah pergi, menahan tangis yang sudah nyaris pecah.

Saat berjalan meninggalkan taman itu, air mata akhirnya jatuh. Setiap langkah terasa berat. Dunia yang awalnya ia pikir akan indah bersama Rangga, kini runtuh seketika.

Malam itu, Cinta menangis lagi di kamarnya. Bukan hanya karena kehilangan Rangga, tapi karena ia merasa tidak cukup berarti untuk dipertahankan.


Bab 19 : Tisu Datar

Keesokan harinya, Hujan deras mengguyur halaman sekolah sore itu. Suara gemuruhnya bercampur dengan riuh langkah siswa lain yang berlarian mencari tempat berteduh.

Namun, di sudut lorong lantai dua yang sepi, Cinta hanya bisa berdiri diam dengan wajah tertunduk. Air mata tak berhenti jatuh, meski ia sudah berulang kali menyeka dengan punggung tangannya. Matanya sembab, hidungnya merah, dan hatinya terasa remuk.

Rangga… kenapa kamu berubah?

Ia ingin berteriak, tapi hanya suara isak yang keluar.

Sampai tiba-tiba… suara langkah mendekat.

“Eh, kalau nangis jangan di pojokan gini, Cin. Dikira lagi dihukum guru, lho.”

Cinta langsung menoleh. Rian.

Cowok yang biasanya cuma bisa bikin hidupnya ribet itu kini berdiri dengan wajah datar. Tanpa banyak basa-basi, dia menyodorkan selembar tisu kusut dari saku celananya.

“Nih, daripada pakai tangan. Kamu keliatan kayak badut, maskara bleber ke mana-mana.”

Cinta mendengus pelan, setengah malu, setengah jengkel. Tapi tetap saja ia mengambil tisu itu, mengusap matanya dengan cepat.
“Kenapa sih kamu… bisa muncul terus di saat aku nggak pengin ketemu siapa-siapa?”
Rian nyengir tipis, lalu bersandar ke dinding.
“Ya… mungkin karena aku ngerti rasanya.”
Cinta berhenti mengusap. Ia melirik Rian, bingung.
“Maksud kamu?”
Rian menatap ke luar jendela, melihat hujan yang turun deras. Suaranya lebih pelan kali ini.
“Aku juga pernah kok. Diputusin Gisel di depan orang banyak. Malu banget. Semua orang ketawa, aku cuma bisa pura-pura cuek. Tapi yaudah… hidup jalan terus.”
Cinta terperangah. Ia menoleh cepat, matanya membesar.
“Serius kamu ngomong gitu?”
Rian menoleh sebentar, menatap Cinta dengan ekspresi setengah malas, setengah jujur.
“Ya iyalah. Kamu kira gampang jadi aku? Kadang orang lihatnya aku rese, suka bikin masalah. Tapi mereka nggak tahu aja kalau aku juga pernah sakit hati.”

Cinta terdiam. Air matanya masih mengalir, tapi kini bercampur rasa iba. Ia sama sekali tidak menyangka, cowok yang selalu mengganggunya itu bisa bicara dengan cara seperti ini.

Rian menghela napas, lalu menyodorkan satu tisu lagi.
“Udah, jangan terus-terusan nangis. Lagian kamu nggak cocok jadi cewek cengeng.”

“Apaan sih…” Cinta memukul pelan lengan Rian dengan tisu basah, separuh kesal, separuh menahan senyum.

Rian hanya mengangkat bahu, ekspresinya tetap datar. Tapi entah kenapa, kalimat sederhana itu terasa seperti tamparan lembut yang membuat Cinta sadar—ia tidak sendiri.

Sore itu, di lorong sepi dengan hujan sebagai saksi, Cinta menyadari sesuatu: di balik sikap usil dan cueknya, Rian menyimpan luka yang sama dengannya. Dan justru karena itu, Rian bisa berdiri di sampingnya sekarang, saat ia merasa paling rapuh.

Semua itu berawal dari selembar tisu datar.


Bab 20: Dari Rese ke Nyaman

Hari-hari di kelas TJKT perlahan berubah. Dulu, duduk sebangku dengan Rian rasanya seperti hukuman. Tapi entah sejak kejadian di lorong waktu itu, suasana menjadi berbeda.

Meja kapur yang dulu penuh dengan garis pemisah buatan Cinta, kini sering jadi arena bercanda. Garis yang ia gambar dengan serius dulu, sekarang malah dijadikan bahan ledekan oleh Rian.

“Eh, Cin,” ujar Rian sambil menunjuk bekas garis kapur yang sudah samar, “kamu tahu nggak, garis ini udah kayak perbatasan negara. Bedanya, kalau aku nyebrang, kamu langsung teriak-teriak.”

Cinta mengerucutkan bibir, pura-pura kesal. “Makanya jangan nyebrang! Itu kan wilayah aku.”

“Ya abis, di wilayah kamu lebih asik. Ada penggaris bagus, ada pulpen baru, sama ada—” Rian berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Cinta, “—pemiliknya yang seru buat diganggu.”

“Apaan sih!” Cinta cepat-cepat menutup wajahnya dengan buku. Pipinya terasa panas, meski ia berusaha menutupi dengan ekspresi sebal.

Kadang, Rian sengaja menjatuhkan penghapus ke sisi meja Cinta, lalu pura-pura minta tolong.
“Cin, tolongin dong, pegel kalau aku yang ambil.”
“Ambil sendiri! Jangan manja.”
“Eh, kamu nggak kasihan? Aku kan cowok yang lagi patah hati.”
Cinta mendengus, tapi akhirnya tetap mengambilkan penghapus itu. Dan Rian akan menyeringai puas, membuat Cinta gemas ingin melempar penghapus itu balik ke wajahnya.
Mereka juga mulai sering mengobrol di sela-sela pelajaran. Bukan lagi perdebatan soal siapa yang salah, tapi lebih banyak cerita ringan.
Tentang guru yang suaranya mirip karakter kartun, tentang teman sebangku lain yang suka ketiduran, atau sekadar membicarakan kantin mana yang jualan cilok terenak.

Hari-hari yang dulu terasa melelahkan kini perlahan jadi berwarna.

Cinta bahkan sempat sadar—dulu, setiap masuk kelas rasanya berat karena harus duduk dengan Rian. Tapi sekarang, justru ada rasa penasaran: Hari ini, Rian bakal ngapain lagi, ya?

Suatu hari, saat jam istirahat, Rian menggambar sesuatu di meja kapur mereka. Bukan garis pembatas, melainkan gambar sederhana—dua stickman kecil.

“Ini aku,” kata Rian sambil menunjuk stickman yang tangannya ditaruh di pinggang, “terus ini kamu.”
Stickman satunya digambarnya dengan rambut panjang dan… pipi bulat.

“Woy! Kok aku digambar gendut?!” protes Cinta sambil memukul lengan Rian dengan buku.

Rian tertawa keras. “Biar lucu! Lagian, kalau aku gambar kamu cantik, ntar beneran suka lagi.”

Cinta terdiam. Ia menunduk, berusaha menahan senyum yang tiba-tiba muncul tanpa izin.

Rian memang masih sama: jail, suka bikin sebal, kadang keterlaluan. Tapi di balik itu semua, ada sisi lain yang pelan-pelan Cinta lihat. Sisi yang bikin ia merasa… nyaman.

Nyaman karena bisa jadi dirinya sendiri. Nyaman karena tidak perlu berpura-pura kuat. Dan nyaman karena tahu, ada seseorang di sebelahnya yang selalu ada—meski caranya menyebalkan.

Bahkan, di akhir hari sekolah yang melelahkan, saat Cinta duduk lemas sambil menopang dagu, Rian tiba-tiba berkata pelan,
“Cin, kamu sadar nggak? Kita udah nggak pernah ribut soal garis kapur lagi.”

Cinta menoleh, menatap Rian dengan heran. “Terus kenapa?”

Rian tersenyum tipis. “Ya… mungkin karena sekarang, aku nggak butuh batas buat deket sama kamu.”

Cinta tercekat. Ia tak tahu harus menjawab apa. Yang ia tahu, dadanya berdebar lebih cepat dari biasanya.

Hari itu, ia sadar—Rian yang dulu hanya cowok rese, kini jadi seseorang yang entah kenapa… bikin hatinya merasa aman.


Bab 21 : Awal Kisah Sebenarnya

Cinta menatap bangkunya di kelas TJKT 1.
Ia tersenyum kecil, mengingat semua hal yang sudah ia lalui sejak awal masuk.

“Eh, jangan senyum-senyum sendiri. Lagi mikirin aku ya?” goda Rian sambil menyikut pelan.

“Apaan sih! Narsis banget.”
Tapi Cinta menunduk, pipinya bersemu merah.

Mungkin, sekolah di SMKN Rajapolah tidak seindah bayangannya. Tapi dengan Rian di sisinya, ia yakin… hari-hari ke depan akan jadi lebih berwarna.

 

TAMAT


Ide Cerita : Himtek TJKT Nerap (Deni Kurnia, M. Yusuf Bahtiar)
Editing by : Assistent Ai

Harap mencantumkan sumber jika ingin menyalin ide ini dalam bentuk apapun. terimakasih.

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)