Bab
1: Awal Baru
“Ini dia, sekolah yang katanya penuh
prestasi. Aku pasti bisa bersinar di sini,” gumamnya sambil tersenyum.
Cinta diterima melalui jalur
prestasi olahraga. Semua orang tahu betapa hebatnya dia di bidang voli. Ia
yakin, hari-harinya di SMK ini akan dipenuhi kebahagiaan dan pengalaman baru
yang indah.
Namun keyakinan itu goyah di hari
pertama MPLS.
Bab
2: Tabarakan Pertama
Saat berjalan menuju lapangan,
tiba-tiba seseorang menabraknya keras. Buku catatan yang dibawa Cinta jatuh
berantakan.
“Eh, lihat dong kalau jalan!” seru
Cinta, sedikit kesal.
Cinta menahan amarah. “Ya tetap aja
kamu yang nabrak duluan!”
“Ya udah, salah bareng berarti.”
Cowok itu, dengan cueknya, memungut bukunya lalu meletakkan ke tangan Cinta.
“Udah kan? Jangan lebay.”
Cinta menatapnya tajam. Dalam hati
ia berdesis: Astaga, ini orang rese banget.
Dan tanpa mereka sadari, pertemuan
itu hanyalah awal.
Bab
3: MPLS dan Jawaban Beda
Tepuk tangan sopan terdengar.
Cinta menoleh kaget. Ya ampun, si
cowok rese itu lagi!
Bab
4: Kamu Lagi, Kamu Lagi
Matanya bergeser ke bawah. Dan di
sanalah tertulis nama yang membuat jantungnya langsung jedug-jedug.
Rian Saputra
“Ya ampun… kamu lagi, kamu lagi,”
desisnya.
Cinta menghela napas panjang. Hari-hari
bakal kacau ini.
Bab
5: Bangku Kapur
Bab 6: Rangga, Sang Ketua OSIS
Hari-hari sekolah mulai terasa padat. Setelah MPLS berakhir dan
pembagian kelas diumumkan, Cinta resmi duduk di kelas TJKT 1—sayangnya sebangku dengan Rian yang selalu bikin
pusing.
Setiap kali upacara, setiap kali ada pengumuman di lapangan, Cinta
selalu memperhatikannya diam-diam. Rangga punya aura pemimpin: tegas tapi
hangat, disiplin tapi tetap bisa bikin suasana cair.
Cinta menunduk, pura-pura membuka buku, padahal wajahnya memerah.
Bab 7 : Rangga Mulai Memperhatikan
Tak disangka, perhatian Cinta ternyata berbalas. Saat jam
istirahat, Rangga sering terlihat melintas ke kantin. Beberapa kali matanya
bertemu pandang dengan Cinta, dan ia menoleh sambil tersenyum tipis.
Sejak saat itu, Rangga sering menyapa Cinta. Kadang hanya
sekadar, “Semangat ya belajarnya,” atau “Jangan lupa makan siang.” Hal-hal
kecil yang membuat Cinta senyum-senyum sendiri sepanjang hari.
Bab 8 : Momen Romantis yang Tak Disangka
Hari Jumat sore, sekolah mengadakan acara class meeting—perlombaan antar kelas. Aula ramai, penuh
sorakan. Rangga, tentu saja, menjadi MC utama.
Cinta yang duduk bersama teman-temannya di deretan bangku
belakang, lagi-lagi tak bisa melepaskan pandangannya. Dia kelihatan keren banget… batinnya.
Wajah Cinta makin merah. Ia hanya bisa menunduk sambil mengikuti
Rangga ke taman belakang sekolah.
Di sana, suasana jauh lebih sepi. Angin sore berhembus lembut,
dan langit jingga keemasan.
Cinta terdiam, jantungnya berdetak cepat.
“Aku suka sama kamu, Cin. Aku pengen kita lebih dari sekadar
kakak kelas sama adik kelas. Kamu mau jadi pacarku?”
Rangga menarik napas lega, lalu tersenyum lebar. “Makasih… kamu
nggak bakal nyesel.”
Bab 9 : Hari-hari Bahagia
Sejak itu, hidup Cinta seakan penuh bunga. Rangga selalu
menyempatkan diri menemuinya, meski hanya sebentar. Saat jam istirahat, ia
kadang datang ke kelas TJKT 1 hanya untuk menyapa.
Setiap pulang sekolah, Rangga sering menunggu di depan gerbang,
lalu berjalan bersama Cinta sampai jalan raya. Hal-hal kecil itu membuat Cinta
merasa jadi orang paling beruntung di dunia.
Bagi Cinta, hari-hari itu adalah masa paling indah sejak ia masuk
SMKN Rajapolah.
Bab 10: Rian dan Rahasia yang
Terlihat
Hari itu jam istirahat, kantin sekolah dipenuhi suara riuh siswa
yang antre makanan. Cinta dan Lina berjalan bersama, mencari meja kosong.
Cewek itu ternyata Gisel,
pacar Rian dari kelas sebelah. Mereka tampak akrab—Gisel menyuapi Rian sepotong
risol, sementara Rian pura-pura menolak tapi ujung-ujungnya tetap membuka
mulut.
Bab 11 : Hari yang Berbalik
Di tengah kerumunan, terlihat Rian dan Gisel. Tapi kali ini,
wajah Gisel merah padam, matanya berkilat marah.
“Rian! Aku capek sama kamu! Kamu egois, nggak pernah dengerin
aku! Kita putus!” suara Gisel nyaring, membuat semua orang menoleh.
Rian berdiri di sana, kaku, wajahnya memerah bukan karena marah,
tapi malu. Sorakan dan tawa dari beberapa anak makin memperparah keadaan.
Cinta yang melihat dari jauh merasa dadanya ikut sesak. Pantas aja dia sering rese di kelas… ternyata di
luar dia juga bisa rapuh.
Bab 12 : Simpati yang Tak Disangka
Keesokan harinya, Cinta memperhatikan Rian di kelas. Biasanya ia
selalu ribut, entah gangguin Cinta atau bercanda sama teman-temannya. Tapi kali
ini, Rian hanya duduk diam, pandangan kosong ke papan tulis.
Saat istirahat, ia bahkan tidak beranjak dari kursi.
Dia kelihatan beda… apa masih
mikirin Gisel? batin Cinta.
Bab 13 : Di Persimpangan Perasaan
“Aneh…” gumamnya. “Padahal aku harusnya seneng kalau dia diem.
Tapi kok… aku malah kasihan, ya?”
Bab 14: Retaknya Hati
Awalnya, semua terasa sempurna. Cinta merasa hidupnya di SMKN
Rajapolah begitu indah—punya sahabat yang seru, jurusan yang ia sukai, dan
pacar seorang ketua OSIS yang perhatian.
Namun perlahan, awan gelap mulai menutupi hari-harinya.
Cinta mencoba mengerti. Toh, menjadi ketua OSIS memang bukan
tanggung jawab kecil. Tapi entah kenapa, hatinya mulai terasa sepi.
Pernah suatu sore, Cinta sengaja menunggu di depan ruang OSIS
hanya untuk sekadar menyapa. Tapi saat pintu terbuka, yang keluar adalah
Rangga… bersama Nadya, salah
satu anggota OSIS yang juga terkenal dekat dengannya. Mereka tertawa kecil,
terlihat akrab, bahkan bahu mereka sempat bersentuhan.
Cinta hanya bisa mengangguk kecil ketika Rangga menoleh padanya.
“Aku masih ada rapat lagi, Cin. Nanti aku kabarin, ya.”
Hatinya seperti diremas.
Bab 15 : Perasaan yang Tersisih
Hari-hari berikutnya pun terasa berbeda. Rangga jarang mengajak
Cinta pulang bersama. Pesan singkat di chat hanya berisi balasan singkat: “Oke.” atau “Nanti.”
“Jangan mikir gitu. Mungkin cuma fase.” Lina mencoba menenangkan,
meski nada suaranya ragu.
Namun keraguan Cinta makin kuat ketika ia melihat Rangga dan
Nadya di kantin. Mereka duduk berdua, tertawa lepas, sementara Rangga sama
sekali tidak menyadari kehadiran Cinta yang berdiri tak jauh dari sana.
Air mata Cinta hampir jatuh, tapi ia cepat-cepat menunduk dan
berlari ke toilet.
Bab 16 : Hati yang Retak
Cinta menangis dalam diam.
Cinta berdiri kaku. Hatinya serasa pecah berkeping-keping.
Bab 17 : Malam yang Sepi
Di rumah, ia hanya bisa menatap buku-bukunya. Semangat belajar
yang dulu selalu ada kini menguap. Kepalanya penuh dengan bayangan Rangga dan
Nadya.
“Sekolah ini nggak seperti yang aku bayangkan,” bisiknya pelan.
“Aku pikir akan bahagia di sini. Tapi kenapa rasanya sakit begini?”
Air matanya lagi-lagi jatuh. Ia menutup wajah dengan kedua
tangan, menahan isak.
Yang ia tahu, hatinya sudah retak.
Bab 18 : Perpisahan yang Menyakitkan
Cinta sudah lama memendam resah. Malam-malam yang biasanya diisi
dengan senyum saat membaca chat Rangga, kini berubah jadi hening penuh tanda
tanya. Ia tahu, hubungan mereka perlahan tidak sama lagi. Rangga mulai jarang
membalas pesan, lebih sering sibuk dengan kegiatan OSIS, dan belakangan… ia
terlihat semakin dekat dengan salah satu pengurus OSIS lain.
Cinta mencoba menahan diri. “Mungkin cuma perasaan aku aja,”
pikirnya. Tapi rasa sakit itu makin lama makin nyata, terutama ketika Rangga
mulai tak lagi ada di saat ia butuh.
Hari itu, setelah sekolah, Cinta memberanikan diri. Ia mengajak
Rangga bicara di taman kecil belakang aula, tempat yang dulu sering mereka
lewati bersama. Tangannya dingin, hatinya berdegup kencang.
“Rangga… aku mau ngomong sesuatu,” suara Cinta pelan, hampir
bergetar.
Cinta menarik napas dalam-dalam. “Aku rasa… hubungan kita nggak
bisa kayak gini terus. Kamu sibuk, aku ngerti. Tapi… aku juga butuh pasangan
yang hadir. Aku… aku capek nunggu.”
Rangga terdiam, alisnya sedikit terangkat. “Jadi maksud kamu?”
Cinta menunduk, suaranya patah, “Aku mau kita… putus.”
Hening. Angin sore berembus, membuat dedaunan bergoyang pelan.
Cinta berharap Rangga akan menyangkal, menahannya, atau setidaknya bertanya
alasan lebih dalam. Tapi yang ia dapatkan justru sebuah senyum tipis yang
menohok.
“Kalau itu yang bikin kamu lebih lega… yaudah, terserah kamu,”
jawab Rangga datar.
Cinta terdiam. Matanya memanas, tapi ia tahan agar air mata tidak
jatuh di depannya. “Kamu… beneran nggak ada apa-apa yang mau kamu bilang?”
Rangga menghela napas, menatap ke arah lain. “Aku nggak mau maksa
orang yang udah nggak nyaman sama aku. Lagian, mungkin kamu emang lebih cocok
sama orang lain. Jadi… yaudah.”
Kalimat itu menghantam hati Cinta lebih keras daripada yang ia
bayangkan. Ia kira Rangga akan menahannya, setidaknya mencoba memperbaiki. Tapi
kenyataannya, ia dibiarkan pergi begitu saja.
Saat berjalan meninggalkan taman itu, air mata akhirnya jatuh.
Setiap langkah terasa berat. Dunia yang awalnya ia pikir akan indah bersama
Rangga, kini runtuh seketika.
Malam itu, Cinta menangis lagi di kamarnya. Bukan hanya karena
kehilangan Rangga, tapi karena ia merasa tidak cukup berarti untuk
dipertahankan.
Bab 19 : Tisu Datar
Keesokan harinya, Hujan deras mengguyur halaman sekolah sore itu.
Suara gemuruhnya bercampur dengan riuh langkah siswa lain yang berlarian
mencari tempat berteduh.
Namun, di sudut lorong lantai dua yang sepi, Cinta hanya bisa
berdiri diam dengan wajah tertunduk. Air mata tak berhenti jatuh, meski ia
sudah berulang kali menyeka dengan punggung tangannya. Matanya sembab,
hidungnya merah, dan hatinya terasa remuk.
Rangga… kenapa kamu berubah?
Ia ingin berteriak, tapi hanya suara isak yang keluar.
Sampai tiba-tiba… suara langkah mendekat.
“Eh, kalau nangis jangan di pojokan gini, Cin. Dikira lagi dihukum
guru, lho.”
Cinta langsung menoleh. Rian.
Cowok yang biasanya cuma bisa bikin hidupnya ribet itu kini
berdiri dengan wajah datar. Tanpa banyak basa-basi, dia menyodorkan selembar
tisu kusut dari saku celananya.
“Nih, daripada pakai tangan. Kamu keliatan kayak badut, maskara
bleber ke mana-mana.”
Cinta terdiam. Air matanya masih mengalir, tapi kini bercampur
rasa iba. Ia sama sekali tidak menyangka, cowok yang selalu mengganggunya itu
bisa bicara dengan cara seperti ini.
“Apaan sih…” Cinta memukul pelan lengan Rian dengan tisu basah,
separuh kesal, separuh menahan senyum.
Rian hanya mengangkat bahu, ekspresinya tetap datar. Tapi entah
kenapa, kalimat sederhana itu terasa seperti tamparan lembut yang membuat Cinta
sadar—ia tidak sendiri.
Sore itu, di lorong sepi dengan hujan sebagai saksi, Cinta
menyadari sesuatu: di balik sikap usil dan cueknya, Rian menyimpan luka yang
sama dengannya. Dan justru karena itu, Rian bisa berdiri di sampingnya
sekarang, saat ia merasa paling rapuh.
Semua itu berawal dari selembar tisu datar.
Bab 20: Dari Rese ke Nyaman
Hari-hari di kelas TJKT perlahan berubah. Dulu, duduk sebangku
dengan Rian rasanya seperti hukuman. Tapi entah sejak kejadian di lorong waktu
itu, suasana menjadi berbeda.
Meja kapur yang dulu penuh dengan garis pemisah buatan Cinta, kini
sering jadi arena bercanda. Garis yang ia gambar dengan serius dulu, sekarang
malah dijadikan bahan ledekan oleh Rian.
“Eh, Cin,” ujar Rian sambil menunjuk bekas garis kapur yang sudah
samar, “kamu tahu nggak, garis ini udah kayak perbatasan negara. Bedanya, kalau
aku nyebrang, kamu langsung teriak-teriak.”
Cinta mengerucutkan bibir, pura-pura kesal. “Makanya jangan
nyebrang! Itu kan wilayah aku.”
“Ya abis, di wilayah kamu lebih asik. Ada penggaris bagus, ada
pulpen baru, sama ada—” Rian berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Cinta,
“—pemiliknya yang seru buat diganggu.”
“Apaan sih!” Cinta cepat-cepat menutup wajahnya dengan buku.
Pipinya terasa panas, meski ia berusaha menutupi dengan ekspresi sebal.
Hari-hari yang dulu terasa melelahkan kini perlahan jadi
berwarna.
Cinta bahkan sempat sadar—dulu, setiap masuk kelas rasanya berat
karena harus duduk dengan Rian. Tapi sekarang, justru ada rasa penasaran: Hari ini, Rian bakal ngapain lagi, ya?
Suatu hari, saat jam istirahat, Rian menggambar sesuatu di meja
kapur mereka. Bukan garis pembatas, melainkan gambar sederhana—dua stickman
kecil.
“Woy! Kok aku digambar gendut?!” protes Cinta sambil memukul
lengan Rian dengan buku.
Rian tertawa keras. “Biar lucu! Lagian, kalau aku gambar kamu
cantik, ntar beneran suka lagi.”
Cinta terdiam. Ia menunduk, berusaha menahan senyum yang
tiba-tiba muncul tanpa izin.
Rian memang masih sama: jail, suka bikin sebal, kadang
keterlaluan. Tapi di balik itu semua, ada sisi lain yang pelan-pelan Cinta
lihat. Sisi yang bikin ia merasa… nyaman.
Nyaman karena bisa jadi dirinya sendiri. Nyaman karena tidak
perlu berpura-pura kuat. Dan nyaman karena tahu, ada seseorang di sebelahnya
yang selalu ada—meski caranya menyebalkan.
Cinta menoleh, menatap Rian dengan heran. “Terus kenapa?”
Rian tersenyum tipis. “Ya… mungkin karena sekarang, aku nggak
butuh batas buat deket sama kamu.”
Cinta tercekat. Ia tak tahu harus menjawab apa. Yang ia tahu,
dadanya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Hari itu, ia sadar—Rian yang dulu hanya cowok rese, kini jadi
seseorang yang entah kenapa… bikin hatinya merasa aman.
Bab
21 : Awal Kisah Sebenarnya
“Eh, jangan senyum-senyum sendiri.
Lagi mikirin aku ya?” goda Rian sambil menyikut pelan.
Mungkin, sekolah di SMKN Rajapolah
tidak seindah bayangannya. Tapi dengan Rian di sisinya, ia yakin… hari-hari ke
depan akan jadi lebih berwarna.