1. Apakah rasa malu benar-benar mulai hilang?
Banyak
orang sekarang berpendapat bahwa rasa malu di masyarakat mulai memudar.
Dulu, orang sangat berhati-hati dalam bersikap dan berbicara, apalagi di depan
umum.
Sekarang, hal-hal yang dulu dianggap “memalukan” justru dianggap biasa, bahkan
kadang dibanggakan atau dijadikan konten.
Namun
sebenarnya, rasa malu tidak benar-benar hilang, tapi berubah bentuk.
Orang tidak lagi malu pada hal-hal yang dulu tabu, karena nilai dan cara
pandang masyarakat ikut berubah — terutama sejak munculnya media sosial dan
budaya digital.
2. Apa sebenarnya arti “rasa malu”?
Rasa malu adalah
perasaan tidak nyaman ketika kita melakukan sesuatu yang melanggar norma atau
membuat orang lain menilai buruk.
Fungsi rasa malu sebenarnya penting — dia menjadi “rem sosial” agar
manusia tidak berbuat sembarangan.
Kalau
rasa malu hilang, maka tidak ada lagi batas antara pantas dan tidak pantas.
3. Mengapa rasa malu mulai berkurang?
Ada
beberapa alasan yang bisa menjelaskan hal ini:
- Media
sosial membuat semua orang ingin tampil.
Banyak orang ingin dikenal, dilihat, atau viral. Akibatnya, hal-hal yang seharusnya pribadi malah dipamerkan. - Konten
tidak ada batasnya.
Orang sering melihat hal-hal ekstrem setiap hari, jadi mereka jadi terbiasa — yang dulu dianggap memalukan sekarang terasa “biasa saja”. - Budaya
individualis.
Sekarang banyak orang berpikir: “Yang penting saya senang, urusan orang lain belakangan.”
Akibatnya, kontrol sosial dari lingkungan jadi lemah. - Kurangnya
pendidikan karakter dan sopan santun.
Sekolah dan keluarga kadang lebih fokus pada nilai akademik, bukan pembentukan sikap. - Lingkungan
dan tokoh panutan juga berubah.
Banyak “seleb” di media sosial yang terkenal karena berani tampil beda, bukan karena prestasi. Hal ini menular pada anak muda.
4. Contoh nyata perilaku yang menunjukkan rasa malu
mulai hilang
Untuk
memudahkan, mari kita lihat dari tiga sisi: (1) urusan pribadi, (2)
di depan umum, dan (3) di tempat umum.
A. Hal-hal pribadi yang dulu disembunyikan,
sekarang diumbar
- Curhat
masalah rumah tangga di media sosial.
Misalnya seseorang menulis panjang lebar tentang suami/istri atau anaknya di Facebook atau TikTok, padahal itu urusan keluarga.
→ Dulu, hal seperti ini dibicarakan secara pribadi, bukan untuk tontonan umum. - Pamer
kehidupan pribadi.
Contohnya, seseorang membuat vlog sedang marah, menangis, atau bahkan bertengkar dengan pasangan — lalu diunggah ke media sosial. - Membagikan
foto atau video yang terlalu terbuka.
Misalnya, remaja memposting foto berpakaian minim hanya untuk mendapat pujian atau “likes”. - Rekam
kegiatan pribadi seperti mandi, tidur, atau hal-hal sejenis untuk konten.
Hal-hal yang dulu dianggap “rahasia pribadi” kini dijadikan tontonan publik.
B. Perilaku di depan orang banyak yang menunjukkan
hilangnya rasa malu
- Tantangan
TikTok atau joget di tempat yang tidak pantas.
Misalnya joget di masjid, di pemakaman, di ruang kelas saat guru mengajar, atau di jalan raya. - Bersikap
mesra berlebihan di tempat umum.
Seperti berpelukan dan berciuman di taman, mall, atau sekolah, tanpa peduli ada anak-anak atau orang lain yang melihat. - Menghina
orang lain secara langsung atau lewat siaran langsung (live).
Dulu orang malu untuk mempermalukan orang lain, sekarang justru ada yang sengaja melakukannya agar viral. - Marah
besar di depan umum sambil merekam video.
Contohnya, pelanggan marah-marah ke petugas hanya untuk konten.
C. Perilaku di tempat umum yang mencerminkan
hilangnya rasa malu sosial
- Membuang
sampah sembarangan padahal ada tempat sampah di dekatnya.
- Berbicara
keras atau memutar musik keras di transportasi umum.
- Tidak
antri atau menyerobot antrean.
- Buang
air kecil di tempat umum atau di pinggir jalan.
- Mengambil
foto/video orang lain tanpa izin.
- Melanggar
aturan lalu lintas dengan bangga (misalnya balapan liar, tidak pakai helm,
tapi direkam).
Dulu,
perbuatan semacam ini dianggap memalukan. Sekarang, sebagian orang malah merasa
“bangga” karena berani atau dianggap “keren”.
5. Dampak dari berkurangnya rasa malu
- Rusaknya
norma sosial.
Masyarakat jadi bingung mana yang pantas dan tidak pantas. - Privasi
orang lain terganggu.
Misalnya, seseorang direkam tanpa izin lalu videonya viral. - Munculnya
sikap cuek dan kasar.
Orang jadi tidak peduli perasaan orang lain. - Menurunnya
kualitas lingkungan sosial.
Tempat umum jadi tidak nyaman karena orang tidak tahu sopan santun. - Masalah
psikologis di kemudian hari.
Banyak orang menyesal setelah oversharing, tapi videonya sudah terlanjur tersebar.
6. Sisi positif: Hilangnya rasa malu tidak selalu
buruk
Kita juga
harus jujur bahwa tidak semua bentuk “hilang malu” itu negatif.
Contohnya:
- Sekarang
orang tidak malu berbicara tentang kesehatan mental.
- Orang
berani melapor kekerasan atau pelecehan yang dulu dianggap aib.
- Perempuan
tidak malu berpendapat atau tampil di ruang publik.
Artinya,
bukan rasa malu yang harus dihilangkan, tetapi memilah kapan malu itu perlu,
kapan tidak.
7. Apa yang bisa kita lakukan?
a. Bagi orang tua
- Berikan
contoh nyata. Anak belajar dari sikap orang tua.
- Diskusikan
etika media sosial. Jelaskan konsekuensi dari posting
sembarangan.
- Bangun
komunikasi terbuka. Agar anak tidak mencari perhatian di luar
rumah.
b. Bagi guru dan sekolah
- Ajarkan
etika digital dan sopan santun.
- Gunakan
studi kasus. Misalnya bahas video viral dan tanyakan:
“Apakah ini pantas?”
- Bangun
kegiatan reflektif. Minta siswa menulis tentang “hal apa yang
membuat kamu malu dan kenapa”.
c. Bagi masyarakat umum
- Jaga
ruang publik. Tegur dengan sopan bila ada perilaku tidak
pantas.
- Tidak
ikut menyebarkan aib orang.
- Gunakan
media sosial dengan tanggung jawab.
8. Kesimpulan
Rasa malu
di masyarakat belum hilang sepenuhnya, tapi banyak bergeser.
Dulu orang malu karena takut dinilai buruk oleh tetangga.
Sekarang, orang justru malu kalau tidak ikut tren atau tidak punya konten.
Perubahan
zaman memang tak bisa dihindari, tapi kita bisa menjaga batas kewajaran dan
menghormati privasi agar masyarakat tetap beradab dan nyaman bagi semua
orang.