1. Perspektif Sosial: Mengapa Dulu Pacaran Dianggap
Tercela?
a. Konteks Nilai dan Norma Tradisional
Pada masa
lalu, terutama sebelum era 1990-an, masyarakat Indonesia cenderung berpegang
kuat pada norma adat dan nilai agama. Hubungan antara laki-laki dan
perempuan yang belum menikah diatur dengan ketat.
Konsep pacaran dipandang sebagai bentuk kedekatan emosional dan fisik
yang “tidak pantas” sebelum akad nikah.
📖 Menurut Koentjaraningrat
(1984), sistem nilai masyarakat tradisional Indonesia menempatkan kesucian,
kehormatan keluarga, dan kontrol sosial terhadap perilaku anak muda sebagai
bentuk penjagaan moral kolektif.
Oleh
karena itu, ketika seorang anak ketahuan pacaran:
- Orang
tua akan menegur keras karena dianggap melanggar batas kesopanan (tabu
sosial).
- Muncul
rasa malu sosial (social shame) yang berdampak pada citra keluarga
di mata masyarakat sekitar.
2. Faktor yang Menyebabkan Larangan Pacaran Dahulu
- Agama
sebagai norma utama
Ajaran Islam (dan agama lain di Indonesia) menekankan larangan mendekati zina (Q.S. Al-Isra: 32). Pacaran dianggap jalan menuju perilaku yang tidak diinginkan secara moral. - Kontrol
Sosial yang Ketat
Masyarakat pedesaan dan komunitas kecil memiliki sistem pengawasan sosial informal. Semua orang “saling tahu”, sehingga perilaku anak menjadi urusan bersama. - Konsep
kehormatan keluarga
Perempuan, terutama, dianggap membawa nama baik keluarga. Kedekatan dengan lawan jenis tanpa ikatan resmi bisa menimbulkan stigma sosial. - Minimnya
ruang privat dan media digital
Interaksi antar lawan jenis terbatas pada ruang publik, sekolah, atau acara sosial, sehingga pacaran jarang terjadi secara bebas.
3. Perubahan di Era Modern: Norma yang Bergeser
Memasuki
era 2000-an hingga kini, terjadi pergeseran nilai sosial dan moralitas
remaja.
a. Pacaran Menjadi Fenomena Sosial yang Normal
Kini
pacaran dipandang oleh sebagian besar remaja dan bahkan orang tua sebagai
bagian dari proses perkembangan psikologis dan sosial, yaitu belajar
memahami emosi, keintiman, dan tanggung jawab.
📖 Menurut penelitian oleh
Santrock (2019) dalam Adolescence: Developmental Psychology,
hubungan romantis remaja berperan dalam perkembangan identitas dan kematangan
emosional.
b. Globalisasi dan Media Sosial
- Budaya
Barat dan media populer (film, TikTok, Instagram) menormalkan perilaku
pacaran.
- Remaja
meniru gaya hubungan yang lebih terbuka dan ekspresif.
- Akibatnya,
konsep tabu sosial melemah dan digantikan oleh nilai personal
freedom.
c. Perubahan Pola Asuh
- Orang
tua masa kini cenderung lebih permisif dan komunikatif.
- Fokusnya
bergeser dari melarang keras ke mengarahkan secara moral dan
emosional agar hubungan tetap sehat dan tidak melanggar nilai agama.
4. Analisis Kritis: Apakah Ini Kemajuan atau
Kemunduran?
Fenomena
ini tidak bisa dikategorikan secara sederhana sebagai “baik” atau “buruk”.
Namun dapat dianalisis melalui dua sisi:
Perspektif |
Dampak Positif |
Dampak Negatif |
Psikologis |
Remaja
belajar mengenali diri dan empati emosional |
Risiko
emosi tidak stabil, kecanduan hubungan |
Sosial |
Lebih
terbuka terhadap komunikasi dan kepercayaan |
Hilangnya
batas sopan santun tradisional |
Agama
& Moral |
Kesadaran
spiritual bisa diarahkan lewat edukasi |
Meningkatnya
perilaku menyimpang jika tanpa kontrol |
5. Kesimpulan: Pergeseran dari Tabu ke Toleransi
Terarah
Jadi, dulu
pacaran jelas dilarang secara sosial dan moral karena dianggap mengancam
nilai kesucian dan kehormatan keluarga.
Namun, kini pandangan itu bergeser, dari larangan total menjadi pembolehan
bersyarat, asalkan disertai tanggung jawab, etika, dan pemahaman agama.
Masyarakat
tidak lagi menghukum perilaku pacaran secara sosial, tetapi mengarahkan agar
hubungan itu berlandaskan nilai moral, komunikasi sehat, dan batasan yang
jelas.