1. Dari Sudut Pandang Moral
Dulu,
moral menjadi patokan utama dalam bersikap: sopan santun, menghormati orang
tua, menjaga adab, dan tidak berbuat seenaknya.
Namun, seiring perkembangan media sosial dan perubahan gaya hidup, banyak hal
yang dulunya dilanggar secara moral, kini dianggap normal.
a. Pamer dan Sombong (Flexing)
Dulu:
Menunjukkan harta, barang mewah, atau hasil kerja dianggap tidak sopan
dan tidak rendah hati.
Sekarang:
Menunjukkan barang branded, mobil, rumah, bahkan isi saldo rekening di TikTok
dianggap motivasi atau self reward.
Padahal, dari sisi moral, ini menumbuhkan kesenjangan sosial dan rasa iri di
masyarakat.
Contoh:
Seseorang membuat konten “unboxing gaji pertama” lalu memperlihatkan uang tunai
jutaan rupiah — hal ini dulu dianggap pamer, sekarang dianggap keren.
b. Bicara Kasar dan Tidak Sopan
Dulu:
Kata-kata kasar, ejekan, atau komentar pedas dianggap tidak beretika dan
bisa memalukan keluarga.
Sekarang:
Ucapan kasar sering dibungkus sebagai kejujuran atau komedi.
Bahkan, banyak konten lucu di TikTok atau YouTube yang isinya makian atau
hinaan.
Contoh:
Konten roasting atau podcast yang menertawakan kekurangan orang lain
dianggap lucu, padahal itu merendahkan martabat seseorang.
c. Pacaran Terbuka / Mesra di Depan Umum
Dulu:
Berpegangan tangan atau bermesraan di tempat umum dianggap aib dan tidak sopan.
Sekarang:
Banyak remaja yang dengan mudah membuat konten “couple goals”, saling
peluk, cium di depan kamera, dan disebarkan ke publik.
Contoh:
Dua siswa SMA membuat video TikTok saling suap makanan di kantin — di kolom
komentar justru banyak yang bilang “sweet banget”, bukan “tidak pantas”.
d. Mengejar Popularitas daripada Kebaikan
Dulu:
Orang dihormati karena akhlak, ilmu, dan kerja keras.
Sekarang:
Orang dihormati karena viral atau terkenal, tanpa memperhatikan apakah
perilakunya baik atau buruk.
Contoh:
Orang yang viral karena sensasi (berkata kasar, berpakaian vulgar) bisa cepat
diundang di TV, sementara ilmuwan atau guru yang berprestasi tidak dikenal.
2. Dari Sudut Pandang Budaya
Budaya
Indonesia dikenal sopan, ramah, menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, dan
menghargai norma.
Namun, globalisasi digital membuat budaya lokal tergeser oleh budaya populer
Barat dan media sosial.
a. Cara Berpakaian
Dulu:
Berpakaian sopan dan tertutup dianggap bagian dari etika budaya timur.
Sekarang:
Baju ketat, terbuka, atau gaya berpakaian ala Barat dianggap modern dan fashionable.
Contoh:
Baju crop-top dan celana ketat yang dulu hanya dipakai di rumah, kini dipakai
ke mall atau sekolah dengan alasan “gaya anak muda”.
b. Interaksi Laki-laki dan Perempuan
Dulu:
Pergaulan antara laki-laki dan perempuan dijaga dengan batas tertentu. Ada adab
berbicara dan berinteraksi.
Sekarang:
Konten-konten “friendzone”, “flirting”, atau “teman tapi mesra” menjadi biasa.
Pergaulan bebas dianggap wajar selama “tidak kelewatan”.
Contoh:
Remaja laki-laki dan perempuan membuat video dansa bersama di TikTok — dulu
dianggap tidak sopan, sekarang disebut “collab seru”.
c. Budaya Malu dan Privasi
Dulu:
Orang malu jika masalah pribadi atau rumah tangganya diketahui publik.
Sekarang:
Banyak orang justru menceritakan aib sendiri di media sosial, entah
karena curhat, cari simpati, atau demi konten.
Contoh:
Seorang istri membuat video menangis karena suami selingkuh, lalu videonya
viral. Padahal, masalah rumah tangga seharusnya diselesaikan secara tertutup.
d. Budaya Konsumsi dan Gaya Hidup
Dulu:
Hidup sederhana dan hemat dianggap nilai luhur.
Sekarang:
Gaya hidup konsumtif, nongkrong di kafe mahal, dan liburan mewah dianggap bukti
“self love” dan healing.
Contoh:
Remaja merasa perlu beli kopi Rp50.000 untuk “self reward”, meski uangnya hasil
berutang atau belum cukup.
3. Dari Sudut Pandang Akhlak (Nilai Agama)
Dalam
Islam, akhlak berarti perilaku yang sesuai dengan petunjuk Allah dan
Rasul-Nya.
Namun, kini banyak perilaku yang melanggar akhlak Islam, tetapi dianggap
“modern” atau “hak pribadi”.
a. Menampakkan Aurat
Dulu:
Menutup aurat adalah kehormatan.
Sekarang:
Membuka aurat dianggap kebebasan berekspresi. Bahkan banyak yang berkata
“Tubuhku, pilihanku”.
Padahal:
Allah berfirman:
“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan
pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
kecuali yang (biasa) tampak daripadanya.”
(QS. An-Nur: 31)
b. Mengejar Dunia daripada Akhirat
Dulu:
Orang berlomba-lomba menuntut ilmu dan memperbanyak amal.
Sekarang:
Banyak yang lebih sibuk mengejar popularitas dan uang dari konten media sosial.
Contoh:
Waktu shalat ditunda karena sedang “take video”, padahal azan sudah
berkumandang.
c. Mengolok dan Menghina Orang Lain
Dulu:
Menghina atau menertawakan orang berdosa besar.
Sekarang:
Hal itu menjadi hiburan. Bahkan muncul konten “komedi ghibah” yang isinya
menjelekkan orang lain.
Padahal:
Rasulullah ï·º bersabda:
“Cukuplah seseorang disebut berdosa jika ia selalu membicarakan keburukan
orang lain.”
(HR. Muslim)
d. Menormalisasi Zina Hati dan Tindakan Romantis
Dulu:
Bicara mesra dengan lawan jenis yang bukan mahram dianggap tidak pantas.
Sekarang:
Flirting, chatting mesra, dan membuat konten pasangan muda dianggap hal biasa.
Padahal:
Rasulullah ï·º bersabda:
“Zina kedua mata adalah memandang, zina lidah adalah berbicara, dan hati
berangan-angan serta bernafsu, sedangkan kemaluanlah yang membenarkan atau
mendustakan itu.”
(HR. Muslim)
4. Mengapa Semua Ini Bisa Terjadi?
Beberapa
faktor utama:
- Media
Sosial – membuat semua orang ingin tampil sempurna
dan viral.
- Globalisasi
Budaya – budaya Barat masuk lewat film, musik, dan
internet.
- Perubahan
Pola Asuh dan Pendidikan Moral – banyak orang tua sibuk,
anak belajar nilai dari media, bukan dari rumah.
- Relativisme
Moral – pandangan bahwa “tidak ada benar dan salah
mutlak”; semua tergantung persepsi.
5. Penutup: Mengembalikan “Normal” kepada Nilai
Asli
Perubahan
zaman memang tidak bisa dihindari.
Namun, “kemajuan teknologi tidak boleh mengalahkan kemajuan akhlak.”
Kita boleh modern, tapi tetap harus memiliki batas yang sesuai dengan nilai
moral, budaya luhur, dan ajaran agama.
Rasulullah
ï·º bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad)